Kami bertiga berpisah saat Tuan Angin bergegas untuk membawa kumpulan debu dalam bola-bola kecil itu menuju Utara. Lelaki berkacamata tadi pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Sudah satu bulan lebih dia mengitari kota ini. Katanya, tak satu pun dari manusia di kota ini yang memiliki hati bersih dengan lidah, paling tidak, beraroma surga barang sedetik.
Setelah perpisahan itu, selama tiga purnama Tuan Angin tak kunjung datang. Debu-debu penuh dendam semakin liar berkeliaran dan mencekik manusia. Tak sedikit dari penghuni kota yang tewas mengenaskan dengan bola mata memerah dan mulut berdarah. Termasuk sepasang suami istri yang dulu pernah mengatakan aku gila.
Dengan membawa celengan rindu untuk Tuan Angin, aku memakai kembali baju balon yang biasa kupakai saat Tuan Angin datang. Sekaleng biskuit kesukaannya juga kubawa bersama dua kantong teh melati yang sangat ia inginkan. Namun, tak jauh setelah aku melangkah, jeritan seorang perempuan menghentikanku.
"Wahai perempuan gila, tolonglah kami!" pinta perempuan yang rambutnya telah meleleh.
"Bawalah ka-mi bersamamu. Ka-mi mo-hon," sambung lelaki yang sudah mengeluarkan darah dari mulutnya.
Aku berhenti sejenak. Dua insan sekarat itu kini meraung kesakitan di atas tanah. Tubuh mereka sudah sangat menjijikkan, seperti perkataan yang pernah mereka ucap dulu. Ah, sekarang pun mereka masih sama.
Aku memilih untuk tidak menggubris mereka dan kembali menapaki jalanan penuh debu. Luka yang menjejak di dalam sana tak akan mudah terobati hanya dengan tatapan menyedihkan itu. Aku bukan orang yang mudah.Â
Sepanjang perjalanan, banyak manusia terkapar di jalanan. Para debu penuh dendam menggerogoti mereka layaknya cacing tanah yang menikmati rumah baru. Bahkan di perbatasan kota, banyak sekali bangkai manusia yang tertutupi debu halus.(*)
.
Bumi Lancang Kuning, 15 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H