"Ah, sedikit lagi. Apakah kau butuh teman minum teh?"
Aku tersenyum. "Mampirlah ke toko sejenak. Akan aku panggang biskuit kesukaanmu sebagai teman minum teh," pintaku yang dihadiahi senyuman darinya.
"Tentu. Tawaran manis itu tak boleh kulewatkan."
Aku segera membuka toko dan menyiapkan bahan untuk membuat biskuit gandum. Ini adalah kali kedua Tuan Angin berkunjung, ah, lebih tepatnya kuundang ke toko.
Tidak butuh waktu lama, lima keping biskuit telah selesai kupanggang. Dua cangkir teh pun kusuguhkan bersama sepiring biskuit. Kami duduk bersama di samping dinding bening sembari bercerita banyak hal. Sesekali aku tertawa akan lelucon yang dibuatnya. Begitu pula dengan sengatan listrik yang kerap menjalar di dalam tubuh saat mendengarnya menyebut namaku.
Aku mengalihkan pandangan ke arah luar kaca dinding. Semburat kuning keemasan telah melukis langit yang bersih, menghiasi pagi yang cerah tanpa awan. Sepertinya, Tuan Awan tengah mudik ke Selatan. Orang-orang membicarakannya kemarin.
"Bagaimana kehidupanmu selama satu purnama ini, Duksanana?" tanya Tuan Angin membuat pipiku menghangat.
"Aku ... baik-baik saja." Aku menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang mungkin saja sudah bersemu merah.
"Aku senang memiliki teman sepertimu. Dulu, sebelum bertugas di kota ini, aku juga menemukan teman baik sepertimu di Utara."
Aku menyelami binar mata Tuan Angin yang tengah menerawang jauh. Sepertinya, ia tengah mencuil sedikit demi sedikit kenangan di masa lalu. Aku memahaminya sebab kerap melakukan hal yang sama kala celengan rindu akan dirinya semakin penuh.
"Dia berbeda denganmu. Dia tak banyak bicara, tapi kerap memberi perhatian lain kepadaku dengan caranya."