Mohon tunggu...
Hassanah
Hassanah Mohon Tunggu... Freelancer - Just a sister

Si penyuka ketenangan, aroma hujan, dan suara katak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Alasan Kamu Menikah?

6 Juni 2023   16:34 Diperbarui: 6 Juni 2023   18:22 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: onepeterfive.com

Oleh : Hassanah

"Apa alasan kamu menikah?"

Dia bertanya kepadaku. Pertanyaan itu sama persis dengan pertanyaanmu, sembilan bulan lalu. Pun dengan warna jingga di langit, sejuk sisa hujan yang baru saja reda, dan aroma cokelat panas yang memanjakan hidungku. Namun, bukan kamu yang ada di depanku saat ini. Kamu, bagaimana kabarmu sekarang?

"Untuk apa kita menikah?"

Dia kembali bertanya. Namun, berbeda dengan pertanyaanmu saat itu. Masih aku ingat senyum manismu kala bertanya, "Kamu mau kita menikah?". Kamu, aku rindu.

"Besok, kita resmi berjalan di jalan masing-masing. Kita akan menjadi asing, seperti sebelumnya."

Dia kembali berkata, lalu pergi meninggalkanku. Mungkin dia muak karena aku tidak menjawab satu pertanyaan pun. Sama seperti kamu yang pergi setelah mengatakan, "Hidup itu bukan sebuah permainan. Ia adalah ... waktu. Waktu di mana kamu akan kehilangan dan mendapatkan segala yang kamu mau, di saat yang sama. Waktu akan memberikan kamu sesuatu, pun dengan kamu, ada sesuatu yang harus kamu berikan padanya."

Aku melihat punggungnya yang keluar melewati pintu kaca kafe. Dinding kafe yang menggunakan kaca bening membuatku dengan mudah memperhatikan sosoknya. Dia tidak menoleh, terus berjalan, memasuki mobil jeep hitamnya, lalu menyusuri aspal yang digenangi air. Kamu tahu, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat ini. Rasanya, aku kembali seperti dulu.

Melodi yang mengalun memenuhi ruang kafe membawaku pada waktu yang telah berlalu, ketika aku bukan milik siapa-siapa. Denting piano itu masih sama, saat kamu datang membawakan pesananku, segelas cokelat panas. Dulu, di pertemuan pertama kita.

Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Ketika kamu tersenyum sambil mengetuk mejaku, lalu meletakkan gelas dengan sangat ramah. Lalu kamu bertanya, apakah aku ingin memesan sesuatu yang lain? Padahal, aku sedang menangis kala itu. Aku sempat berpikir, kamu itu tipe orang yang tidak pandai membaca suasana.

"Ini cake yang tersisa hari ini. Hanya orang beruntung yang dapat merasakannya," ucapmu.

"Saya tidak memesan apa pun kecuali cokelat panas ini." Aku menjawab sambil menatap wajahmu sekilas, kemudian memegang pegangan gelas tanpa berniat untuk mengangkatnya.

"Karena ini yang terakhir, saya akan memberikannya kepada Anda. Tidak perlu sungkan, Anda adalah pelanggan terakhir." Kamu juga menyodorkan kotak tisu. Setelahnya, aku hanya menangis sambil membuka sanggul di kepalaku yang sudah berantakan. Hari itu, aku benar-benar lelah. Dan kamu, seakan-akan tidak peduli dengan mata sembabku. Kamu terus tersenyum.

Dan akhirnya aku menyadari bahwa aku salah. Ya, aku sangat salah setelah tahu apa yang kamu lakukan untukku dari temanmu, sebulan setelah kamu menghilang, menjelang pernikahanku. Kamu sengaja menutup kafe lebih cepat dari biasanya kala itu. Kamu menghidupkan musik melow yang juga menenangkan. Lalu, kamu memberiku hidangan manis yang entah mengapa, aku tersenyum saat memakannya. Aku pikir, kamu hanya laki-laki aneh.

Entah sejak kapan, kita mulai menjadi teman. Kita selalu berjumpa seakan-akan waktu sedang ingin kita bersama. Kamu tahu, aku sangat menikmati detik demi detik saat menunggu di halte bus bersamamu, juga perjalanan empat puluh menit kita. Kamu akan berangkat ke kafe, sementara aku hendak pulang ke rumah kecilku yang ada di perumahan, di belakang kafe. Aku suka momen kebersamaan yang kita lalui dengan saling berbagi cerita. Andaikan aku tahu betapa berartinya kehadiranmu, mungkin saat ini aku tidak lagi di sini. Bisa saja kan aku menyusulmu?

Kini, setelah mengaduk cokelat panas di hadapanku, aku melirik map kertas di sebelahnya. Itu adalah berkas pembatalan pernikahan milikku. Ternyata, menikah bukanlah penyelesaian dari masalah yang kuhadapi. Sebab yang aku rasakan tetaplah sama. Mungkin memang aku yang salah, karena membiarkanmu menghilang, sesaat setelah lamaran dia diterima keluargaku. Kamu, aku membutuhkanmu saat ini. Sungguh.

Pertanyaan dari lelaki yang mengucapkan janji setia kepadaku, enam bulan lalu, tadi itu tidak kujawab. Sama seperti saat kamu bertanya. Aku hanya diam saja. Sebab memang aku tidak tahu jawaban dari: Apa alasan aku menikah?

Kamu, kini aku harus bagaimana? Tiga puluh tahunku ternyata tidak mengajarkan apa-apa tentang bagaimana mengatasi masalah ini. Buktinya, aku masih tidak bisa mencari di mana letak kebahagiaan itu. Dan, sepertinya aku harus melanjutkan hidup dengan terus mencarinya. Kamu, kini aku butuh sehelai tisu darimu. Seperti saat kamu yang entah mengapa selalu menjadi partner menangisku.

Apa lagi yang harus aku relakan pada waktu? Bila saja aku bisa memberikan sebagian sisa umurku di dunia padanya, aku akan menukarnya agar bisa bertemu denganmu. Kamu tahu, seharusnya aku menjawab iya saat kamu bertanya; 'kamu mau aku menikahimu? Setidaknya itu bisa meloloskanmu dari pertanyaan ajaib keluargamu.'

Kamu, aku masih ingat saat berkeliling kota bersamamu dengan bus yang entah berapa kali berganti. Menikmati waktu libur setelah seminggu penuh bekerja dengan shif yang melelahkan. Belum lagi saat dokter-dokter muda itu melampiaskan tangisnya kepadaku. Rasanya, aku menjadi tong sampah di sana. Sebenarnya bisa saja aku menghardik mereka dengan segala tugas, tapi itu bukan keahlianku. Hanya saja, sepertinya waktu mengambil sesuatu dariku.

Aku ingat, kamu pernah berkata: suatu saat, waktu akan memberitahu kita sebuah fakta mengejutkan. Yaitu, di saat ia memberi banyak cerita, lalu kemudian hanya menjadi kenangan. Ada lagi, yaitu ketika ia menjadi partner kita untuk pertama kali, ia pula yang akan tetap bersama kita hingga akhir nanti. Jadi, tetaplah menjadi kamu apa adanya tanpa dusta. Sebab akhir dari hidup ini adalah ... kesendirian.

"Apa alasan kamu menikah?" Pertanyaan yang sejak beberapa minggu terakhir menjadi topik utama dengan aku sebagai narasumbernya. Tidak di tempat kerja, telepon dari saudara, pun sosok yang dulu mencium jari mungilku seraya berkata; tidak apa-apa. Lukanya sudah sembuh. Pintunya juga sudah ibu pukul.

Kamu, aku takut. Waktu telah memberiku banyak hal hingga detik ini, tapi ia juga mengambil sesuatu yang berharga dariku. Ia memberiku jawaban dari alasan aku menikah. Ia membantuku melukis cerita hidup berdua. Namun, ia mengambil kebersamaan kita.

Kamu, masihkah ingin mendengar jawaban akan pertanyaanmu; apa alasan kamu menikah? Ternyata, jawabannya sangat sederhana. Kamu pasti tertawa saat mendengarnya. Namun, pipiku sudah basah sekarang, saat akan menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan kesulitan untuk mengungkapkan satu kata. Rasanya, dadaku sangat sesak sekali, membuat orang-orang menatapku sama-sama.

Kamu, ternyata benar, akhir dari hidup kita adalah kesendirian. Seperti kamu yang pergi menuju kesendirian dan aku yang kembali ke titik kesendirian pula. Seharusnya aku sadar lebih awal, bahwa dengan menyatukan dua hati yang merasa sendirian, ia akan menjadi teman yang menyenangkan untuk menuju kesendirian. Ya, aku gagal menemukan ide itu karena waktu memberi banyak sekali cerita untuk kita.

"Aku senang atasmu. Aku ikut bahagia untuk masa-masa yang akan kamu jalani dalam ikatan bernama rumah tangga. Maaf, waktu tidak memberiku banyak kesempatan untuk bersamamu. Sehingga, aku tidak bisa ikut duduk bersama orang-orang tersayangmu dan menyaksikan pernikahanmu. Tapi, kamu harus tahu, bahwa aku sangat menghargai apa yang waktu berikan untuk kita berdua." Itu adalah tulisan terakhirmu yang aku temukan di tas usangku. Tas kecil yang putus talinya saat kita baru saja turun dari bus kota. Kamu bilang, aku harus menggantinya dengan yang baru.

Kini, cokelat panasku tidak lagi mengepul, menguarkan aroma yang kuat, dan terasa hangat saat menyentuh gelasnya. Seperti ruang di dalam hatiku, cokelat panas favoritku itu tak lagi menjadi teman duduk. Rasanya pahit dan pasti dingin. Aku pun meninggalkan kafe dan segelas cokelat dingin itu setelah menulis sesuatu di atas kertas, tepat di sebelahnya. Harap-harap, ada orang lain yang membaca dan berniat menjawabnya sehingga bebanku berkurang.

"Apa alasan kamu menikah?"(*)

Bumi Lancang Kuning, 19-24 Mei 2021

Hassanah, seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Riau. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun