Mohon tunggu...
Hassanah
Hassanah Mohon Tunggu... Freelancer - Just a sister

Si penyuka ketenangan, aroma hujan, dan suara katak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Alasan Kamu Menikah?

6 Juni 2023   16:34 Diperbarui: 6 Juni 2023   18:22 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: onepeterfive.com

"Ini cake yang tersisa hari ini. Hanya orang beruntung yang dapat merasakannya," ucapmu.

"Saya tidak memesan apa pun kecuali cokelat panas ini." Aku menjawab sambil menatap wajahmu sekilas, kemudian memegang pegangan gelas tanpa berniat untuk mengangkatnya.

"Karena ini yang terakhir, saya akan memberikannya kepada Anda. Tidak perlu sungkan, Anda adalah pelanggan terakhir." Kamu juga menyodorkan kotak tisu. Setelahnya, aku hanya menangis sambil membuka sanggul di kepalaku yang sudah berantakan. Hari itu, aku benar-benar lelah. Dan kamu, seakan-akan tidak peduli dengan mata sembabku. Kamu terus tersenyum.

Dan akhirnya aku menyadari bahwa aku salah. Ya, aku sangat salah setelah tahu apa yang kamu lakukan untukku dari temanmu, sebulan setelah kamu menghilang, menjelang pernikahanku. Kamu sengaja menutup kafe lebih cepat dari biasanya kala itu. Kamu menghidupkan musik melow yang juga menenangkan. Lalu, kamu memberiku hidangan manis yang entah mengapa, aku tersenyum saat memakannya. Aku pikir, kamu hanya laki-laki aneh.

Entah sejak kapan, kita mulai menjadi teman. Kita selalu berjumpa seakan-akan waktu sedang ingin kita bersama. Kamu tahu, aku sangat menikmati detik demi detik saat menunggu di halte bus bersamamu, juga perjalanan empat puluh menit kita. Kamu akan berangkat ke kafe, sementara aku hendak pulang ke rumah kecilku yang ada di perumahan, di belakang kafe. Aku suka momen kebersamaan yang kita lalui dengan saling berbagi cerita. Andaikan aku tahu betapa berartinya kehadiranmu, mungkin saat ini aku tidak lagi di sini. Bisa saja kan aku menyusulmu?

Kini, setelah mengaduk cokelat panas di hadapanku, aku melirik map kertas di sebelahnya. Itu adalah berkas pembatalan pernikahan milikku. Ternyata, menikah bukanlah penyelesaian dari masalah yang kuhadapi. Sebab yang aku rasakan tetaplah sama. Mungkin memang aku yang salah, karena membiarkanmu menghilang, sesaat setelah lamaran dia diterima keluargaku. Kamu, aku membutuhkanmu saat ini. Sungguh.

Pertanyaan dari lelaki yang mengucapkan janji setia kepadaku, enam bulan lalu, tadi itu tidak kujawab. Sama seperti saat kamu bertanya. Aku hanya diam saja. Sebab memang aku tidak tahu jawaban dari: Apa alasan aku menikah?

Kamu, kini aku harus bagaimana? Tiga puluh tahunku ternyata tidak mengajarkan apa-apa tentang bagaimana mengatasi masalah ini. Buktinya, aku masih tidak bisa mencari di mana letak kebahagiaan itu. Dan, sepertinya aku harus melanjutkan hidup dengan terus mencarinya. Kamu, kini aku butuh sehelai tisu darimu. Seperti saat kamu yang entah mengapa selalu menjadi partner menangisku.

Apa lagi yang harus aku relakan pada waktu? Bila saja aku bisa memberikan sebagian sisa umurku di dunia padanya, aku akan menukarnya agar bisa bertemu denganmu. Kamu tahu, seharusnya aku menjawab iya saat kamu bertanya; 'kamu mau aku menikahimu? Setidaknya itu bisa meloloskanmu dari pertanyaan ajaib keluargamu.'

Kamu, aku masih ingat saat berkeliling kota bersamamu dengan bus yang entah berapa kali berganti. Menikmati waktu libur setelah seminggu penuh bekerja dengan shif yang melelahkan. Belum lagi saat dokter-dokter muda itu melampiaskan tangisnya kepadaku. Rasanya, aku menjadi tong sampah di sana. Sebenarnya bisa saja aku menghardik mereka dengan segala tugas, tapi itu bukan keahlianku. Hanya saja, sepertinya waktu mengambil sesuatu dariku.

Aku ingat, kamu pernah berkata: suatu saat, waktu akan memberitahu kita sebuah fakta mengejutkan. Yaitu, di saat ia memberi banyak cerita, lalu kemudian hanya menjadi kenangan. Ada lagi, yaitu ketika ia menjadi partner kita untuk pertama kali, ia pula yang akan tetap bersama kita hingga akhir nanti. Jadi, tetaplah menjadi kamu apa adanya tanpa dusta. Sebab akhir dari hidup ini adalah ... kesendirian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun