Oleh: HassanahÂ
Jika waktu dapat diputar, aku ingin kembali di satu masa yang mana senyum-senyumnya menjadi obat penat di hari yang berat. Peluh dan lelah tak lagi menjadi alasan aku misuh-misuh. Diri sendiri tak terawat pun bukan masalah. Hanya saja, itu andai yang akan terus aku andai-andaikan, melihat si sulung yang terlalu cepat menjadi dewasa.
Rasa bersalah tidak dapat aku elakkan ketika Ruby, putri bungsuku, hanya mau dipeluk abangnya saat menangis pagi tadi. Dia menepis tanganku yang terulur untuk menggendongnya. Dia bahkan menjerit tak keruan saat aku berusah payah menimang tubuhnya. Anak kecil yang usianya bahkan belum genap dua tahun itu pun berontak dan memanggil nama abangnya. Bukan aku, apalagi suamiku.
"Adek enggak mau sama Bunda, ya?" tanya Qory, si sulung yang berusia sepuluh tahun.
Yang lebih membuat hatiku teriris pagi ini adalah saat melihat Ruby mengangguk mantap dan memeluk abangnya. Dia terus menyebut nama Qory dan beberapa kata lain yang tidak kumengerti karena terdengar tidak jelas. Namun, putraku itu malah tersenyum dan berkata, "Nanti kalau Abang udah pulang sekolah, kita main lagi. Adek jangan nangis-nangis, ya?"
Apa sebenarnya yang dikatakan anak kecilku itu?
"Bund, nanti sore Abang jadi dijemput Bunda, kan? Pulang sekolah."
Astagfirullah! Aku lupa memberi tahu Qory kalau hari ini akan pulang terlambat karena lembur akhir bulan.
"Maaf, Nak. Bunda ada meeting sampai sore. Nanti dijemput Ayah aja, ya?" Aku mengusap kepala Qory lalu mengalihkan pandangan ke tempat suamiku duduk. Dia sedang menikmati sarapannya. "Bisa kan, Yah?"
"Aku ada makan malam bareng klien. Kan udah aku bilang tadi malam."