Mohon tunggu...
Hassanah
Hassanah Mohon Tunggu... Freelancer - Just a sister

Si penyuka ketenangan, aroma hujan, dan suara katak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Kecilku

5 Juni 2023   13:17 Diperbarui: 5 Juni 2023   13:30 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://pin.it/QSk7uS3

Ibuku? Dia bekerja, tapi penghasilannya hanya cukup untuk makan saja sedangkan Bapak tidak pernah pulang dari rumah selingkuhannya.

"Anak Ayah jagoan banget! Nanti kalau udah libur sekolah, kita pergi ke zoo, ya? Ayah janji." Suamiku itu mengusap kepala Qory dan Ruby bergantian. Tanpa menjawab, anak laki-lakiku itu bergegas menghampiriku dan mengambil bekal makanan yang sudah disiapkan. Tak lupa, dia mencium tanganku lalu mengucapkan kalimat yang sama setiap pagi, "Abang berangkat sekolah dulu ya, Bund. Bunda jangan capek-capek kerjanya. Kalau capek, Bunda di rumah aja sama kita."

Lagi, ada yang bergemuruh di dalam sana. Sejak umur lima tahun, Qory memang kerap merengek memintaku tidak pergi bekerja. Namun, karirku sedang berada di puncak-puncaknya saat itu. Bersusah payah aku memberinya pengertian. Hingga akhirnya dia sepakat, aku bekerja untuk bisa membelikannya mainan setiap bulan. Dia suka bermain lego. Dia juga suka mainan berbentuk hewan.

Hanya saja, tiga tahun kemudian dia kembali protes. Kali itu dia bahkan tidak mau pergi sekolah. Katanya, biar saja tinggal kelas, biar aku menemaninya belajar sampai bisa. Nyeri, tentu saja rasanya lebih sakit dari sekadar kata nyeri itu sendiri. Egoku terlalu melambung tinggi, tapi keadaan lebih berkuasa memegang kendali.

Fakta bahwa aku tengah hamil tidak memungkinkan untuk resign dengan risiko tidak ada pemasukan keluarga. Suamiku sedang kena PHK kala itu. Adikku butuh biaya untuk bayar uang berobat anaknya. Ibu juga butuh makan di sana. Pasrah kepada Tuhan menjadi pilihanku saat mengambil keputusan untuk tetap bekerja meski tengah hamil besar.

Aku melahirkan lebih awal saking banyaknya pikiran. Untunglah, Tuhan selalu mengingat hamba-Nya yang mengingat Dia. Suamiku mendapat pekerjaan baru, sulungku mulai mengerti setelah lahirnya si bungsu, dan keponakanku sudah dapat dikatakan sembuh dari penyakit tumor. Satu per satu Tuhan menolongku seperti janji-Nya.

Kini, aku memeluk si sulung lalu berkata, "Iya. Abang yang tekun belajarnya, ya? Bunda enggak akan capek kalau untuk kebahagiaan anak-anak Bunda. Percaya, deh."

"Makasih, Bunda." Qory memelukku. Dia lebih mengeratkan pelukannya saat aku menyetujui untuk membantunya mengerjakan PR kemarin nanti malam. Katanya, tadi malam sudah dikerjakan, tapi enggak bisa.

Aku melepas pelukannya serta merapikan dasi dan rompi seragamnya. Setelah menatap Ruby yang tampak asyik mengeluarkan baju ganti miliknya dari dalam tas, aku mengamati wajah Qory yang bagiku masih sama seperti saat dulu dia umur lima. Hanya tubuhnya yang makin tinggi dan berisi saja.

"Ayah janji mau ajak Abang sama Adek pergi ke zoo pas libur sekolah. Kalau gitu, bunda janji mau ajak Abang sama Adek ke waterpark sebelum abang ujian sekolah. Gimana? Seneng, gak?"

Kulihat Qory mengulas senyum. Walau matanya tidak berbinar seperti dulu, atau melompat-lompat kegirangan ketika diajak pergi liburan ke zoo enam tahun lalu, tapi aku cukup merasa tenang. Setidaknya, dia akan memiliki pengalaman masa kecil yang menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun