"Terus anak-anak siapa yang jaga?"
"Titip aja di tempat biasa."
Aku mendesah. Rasa bersalah kian menumpuk sudah. Suami yang begitu kerja keras demi promosi jabatan, lalu aku yang tidak bisa melepas pekerjaan pada akhirnya menjadi dua orang yang berjalan di pijakan masing-masing. Untunglah, kami dikaruniai sulung yang pengertiannya kian bertambah-tambah.
"Enggak pa-pa, Bund. Nanti Abang yang jagain Adek di rumah Mbak Lala. Adek enggak rewel kok sekarang." Qory sulungku berujar sambil memasang kaus kakinya. Setelah itu, dia mengecup pipi Ruby dan kembali berkata, "Iya kan, Dek? Nanti Adek main sama Abang, kan?"
"Iyah."
"Adeknya Abang pinter, kan?"
"Iyah."
"Nanti kita bikin gambar-gambar lagi. Adek suka, kan?"
Ruby tertawa bahagia sambil bertepuk tangan. Dia mengangkat kedua tangannya, meminta digendong oleh sang abang.
"Adek sekarang udah bisa mewarnai loh, Bund. Adek juga suka main sembunyi-sembunyian. Adek juga bisa berhitung sampai tujuh. Adek pinter kan, Bund?"
Ada yang panas, ada yang bergemuruh. Anak kecilku sudah besar. Dia bijak dalam bertutur dan handal dalam menjaga adik. Lalu, apa tugasku sekarang? Ah, iya. Aku harus mengumpulkan uang untuk pendidikan masa depan keduanya. Aku tidak mau mereka mengalami hal yang sama denganku: bekerja paruh waktu, menjaga dua adik, lalu bersekolah dengan hasil jerih payah sendiri.