Pagi itu pun kami berangkat dan berpisah di depan pagar rumah. Suamiku ke kantornya sambil mengantar Qory ke sekolah, lalu aku ke kantorku dan mengantar Ruby di rumah Lala, sepupuku yang tinggal dua lorong dari rumah kami.
***
Seperti kataku tadi pagi, malam ini aku membantu Qory mengerjakan tugas sekolahnya. Mengarahkan dan menjelaskan beberapa materi terkait hitung-hitungan itu, lalu menuntunnya untuk menemukan jawaban. Walau badan ini terasa sangat penat, tapi demi seulas senyum putraku itu aku tak mengapa.
Akhir-akhir ini, dia jarang tersenyum hangat seperti malam ini. Senyum-senyum yang dulu selalu berhasil mengobati rasa lelahku, juga amarah-amarah yang kerap aku bawa dari tempat kerja. Entah aku yang tidak terlalu memperhatikan karena banyak mengurus si kecil saat pulang, atau memang sudah seperti itu tanpa aku sadari. Apakah dia sudah akan beranjak besar? Kata temanku, anak remaja akan lebih sulit dimengerti apa maunya dan sebentar lagi dia akan memasuki fase itu.
"Bunda, makasih udah temankan dan ajarkan Abang belajar, ya?" ucapnya saat aku menyelimutinya.
"Iya. Kan Bunda bilang 'iya' tadi pagi."
"Qory seneng banget pokoknya."
"Ya udah, baca doanya dulu. Habis itu merem."
"Iya."
Qory menurut dan langsung terlelap dalam waktu lima menit. Dia memang anak yang mudah sekali tertidur, menurun dari ayahnya.
Aku merapikan meja belajar Qory. Melihat buku-bukunya, memeriksa alat tulisnya. Pun mengeluarkan beberapa robekan kertas dan mainan yang kerap dia bawa walau aku melarangnya.