Merujuk pada Pasal ini, ada konsekuensi yang harus diterima oleh parpol jika tak mengusung paslon capres padahal mereka mampu. Parpol yang tak mengusung paslon capres dikenai sanksi tak bisa menjadi menjadi peserta pemilu di periode selanjutnya.
Makanya dalam Pilpres tidak ada pilihan kotak kosong. Hal ini terjadi meskipun hanya terdapat 1 pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, pilpres tetap dilanjutkan dengan perhitungan 50+1 persen dari total pemilih.
Mau tidak mau, parpol itu harus mengusungkan paslon. Di sinilah potensi terjadinya kongkalikong. Meskipun ada UU No. 7 Tahun 2017 memberi celah untuk tersedianya satu paslon capres, skenario ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Sebab, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menganut sistem multipartai.
Baca juga:Â Skenario Gagalkan Anies Baswedan Dapat Tiket Pilpres 2024
Kotak kosong hanya dikenal dalam pemilihan kepala daerah. Kotak kosong sendiri merupakan pilihan yang sah berdasarkan undang-undang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Tapi dalam pilpres tidak ada pilihan kotak kosong, namun pilpres tetap lanjut dengan mekanismenya telah diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Artinya skenario kotak kosong pilpres ini hanya ingin mendepak Anies Baswedan atau setidaknya Anies memiliki cawapres yang tidak membumi agar mudah dikalahkan dalam kontestasi Pilpres 2024, misalnya pasangan dengan AHY atau Aher.
Kelihatan ada kecenderungan pihak lawan Anies Baswedan di Partai NasDem untuk mengarah kotak kosong alias hanya ingin mengaburkan tiket Anies Baswedan menuju capres, trik menghindari lawan berat.Â
Baca juga:Â Mengulik Arah Dukungan Jokowi dan Sumber Keruwetan Kandidasi Pilpres
Tapi tentu Ketum NasDem Surya Paloh bersama Jusuf Kalla sebagai King Maker Anies Baswedan sudah menangkap gejala politik kandidasi ini.
Saat ini memang terjadi simpang siur yang penuh intrik dengan belum kokohnya Koalisi NasDem untuk kawal Anies Baswedan, karena antara Partai Demokrat dan PKS semua ngotot ingin menjadi cawapres.