Apa hasil di lapangan, mereka berkendara sangat disiplin dan rapi. Di Kuala Lumpur juga macet, tapi tertib. Sangat beda di Indonesia, macet tapi semrawut.Â
Di Indonesia, selain emosional dan pengaruh pikiran bahwa kalau ditangkap mudah lepas, cukup atur damai dengan petugas. Di Malaysia tidak ada itu atur mengatur, karena memang karakter berkendara dibentuk dari awal pengambilan SIM dan juga petugas tidak menerima pengaturan.Â
Bahkan karakter sudah terbentuk sebelum mengambil SIM yaitu harus memiliki kendaraan terlebih dahulu, memiliki kendaraan tentu disini ada karakter terbangun. Itulah pengaruh positif dari penegakan hukum.
Kalau ke Malaysia, sama juga seperti Korea Selatan, Jepang dan lainnya. Coba perhatikan antar kendaraan, tidak ada saling silang atau menyalip kendaraan lainnya untuk mendahului kendaraan di depannya.Â
Mereka rapi, Â berpindah lajur benar-benar pada posisi sangat aman. Jadi pada prinsipnya biar tidak ada lampu signal tetap aman berpindah lajur.
Jadi seharusnya di Indonesia melakukan inovasi pengambilan SIM agar disamping mahir berkendara juga mahir pula berlalu-lintas agar bisa mencegah kecelakaan karena human error.
Paling penting adalah jangan memiliki kendaraan bila tidak mampu pelihara dan rawat kendaraan, setelahnya jangan mengambil SIM bila tidak memahami tata cara berkendaraan yang sopan.
Satu contoh jelek yang harus dihindari yaitu tahan emosi bila berkendara, setidaknya jangan saling mendahului pada posisi tidak aman. Karena pada prinsipnya semua yang berkendara ingin cepat sampai tujuan.Â
Jadi yang bikin macet sebenarnya adalah terjadinya saling salip antar kendaraan, maka terjadi stag kendaraan, disana terkunci kendaraan. Ahirnya menumpuk dan berjejer kendaraan itu tidak bisa bergerak, karena saling kunci.
Kenapa sampai demikian, karena karakter tidak terbentuk sejak di rumah, ahirnya terbawa ke jalan raya. Ujung sikap seperti ini, dengan mudah terjadinya kecelakaan. Karena semua pengendara mau cepat dan terdepan, ahirnya tidak sampai-sampai.