Labeling pada kemasan produk pangan saat ini belum lengkap, penanda atau label migrasi racun dari kemasan ke produk belum tercantum untuk kewaspadaan kesehatan pangan dan label nilai ekonomi kemasan untuk antisipasi sampah belum ada, walau regulasinya sudah ada, tapi kementerian terkait belum melaksanakan mandat regulasi sampah.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrin (Kemenperind) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beberapa tahun lalu pernah membahas rencana melakukan penarikan Cukai Kantong Plastik (CKP).
Lalu istirahat menggodok CKP, karena digugat para industri dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), utamanya penulis melalui Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta protes keras CKP karena dasarnya sangat keliru dari kesalahan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB). Pemerintah cq: KLHK tidak sportif mengakui kekeliruan kebijakan KPB-KPTG.
Saat ini Kementerian Keuangan bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI bermaksud mulai lagi ingin menerapkan cukai kemasan (memperluas dari sebelumnya yang hanya CKP), bersama produk berpemanis dalam kemasan.
Penulis sepakat bila sebelumnya laksanakan mandat UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) Pasal 16 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam melaksanakan kewajiban perusahaan berupa Extanded Producer Responsibility (EPR) agar tidak tumpang tindih dengan penerapan cukai plastik dan kemasan lainnya.
Baca juga:Â Kemasan Produk Pangan Semua Mengandung Racun, Waspada!
Cukai Kemasan Diperluas
Tapi kali ini bukan hanya kantong plastik yang akan di kenakan cukai, tapi akan diperlebar sasaran produk barang yang akan kena cukai. Termasuk kemasan produk berpemanis dan kemasan lainnya.
Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sepakat target penerimaan kepabeanan dan cukai 2023 sebesar Rp 303,19 triliun. Jumlah itu naik Rp 1,4 miliar dari target penerimaan yang diusulkan sebelumnya.
Pemerintah dan DPR RI telah sepakat untuk mencapai target itu, salah satunya melalui penambahan barang kena cukai baru berupa produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan termasuk kemasan produk lainnya.
Baca juga:Â Setop Polemik: Aman BisPhenol-A Galon Air Minum Kemasan
Intensifikasi cukai melalui penyesuaian tarif cukai dan ekstensifikasi cukai melalui penambahan barang kena cukai baru berupa produk plastik dan MBDK yang diselaraskan dengan pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.Â
Pemerintah harus memilih instrumen mana yang paling make sense untuk tetap di satu sisi mencegah konsumsi yang berbahaya seperti minuman berpemanis, plastik, hasil tembakau, itu semua dianggap memiliki aspek negatif dan berbahaya.Â
Di sisi lain, juga harus diperhatikan dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan dan dalam hal ini masalah kesehatan dan lingkungan, khususnya penanganan sampahnya.
Baca juga: Setop Kampanye Bahaya Bisphenol A, Itu Hoaks! Galon Isi Ulang Aman, Simak Apa Kata Ahli?
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pengenaan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan akan memperhatikan berbagai hal. Mulai dari melihat momentum pemulihan ekonomi, hingga memperhitungkan dampak kepada kesehatan dan lingkungan.
Paling urgen diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR sebelum pengenaan cukai pada plastik kemasan, adalah menerbitkan aturan extanded produser responsibility (EPR).
Karena tanpa mengatur EPR dari kemasan tersebut, akan menemui kendala. Semua akan rugi, pemerintah akan sulit menentukan tarif cukai dan perusahaan akan rugi beberapa kali.
Baca juga:Â Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR
Karena tanggungjawab EPR juga harus dipenuhi oleh perusahaan, untuk menarik sisa kemasannya yang berahir menjadi sampah.
Jadi harus ada sinkronisasi antara cukai kemasan dan tanggungjawab EPR, karena perusahaan juga akan mendapat insentif bila telah melaksanakan EPR. Bisa jadi insentifnya berupa substitusi cukai, tergantung kesepakatan stakeholder yang akan diatur dalam PP EPR atau turunan dari PP.
Namun pelaksanaan cukai kemasan yang tidak dibarengi dengan EPR, maka akan terjadi kontraproduktif. Ahirnya perusahaan akan dirugikan. Terlebih masyarak konsumen dan sekaligus sebagai pembayar EPR, semua akan dirugikan bila tidak komprehensif mengatasinya.
Baca juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Jadi harus kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dalam melakukan labeling untuk tujuan atau memberi tanda peringatan migrasi untuk kemasan bagi kesehatan, lingkungan dan cukai.
Jadi perusahaan juga terjadi efisiensi dalam produksi kemasan produk mereka, karena beberapa unsur atau label untuk kemasan sudah komprehensif dalam satu wadah kemasan produk
Labeling pada kemasan produk pangan saat ini belum lengkap, kekurangan untuk label migrasi racun untuk kesehatan dan label ekonomi EPR untuk antisipasi sampah kemasan, belum diatur oleh kementerian terkait.
Baca juga:Â Presidensi G20, Pemantik EPR Sampah Menuju Industri Hijau
Perusahaan akan dirugikan dan otomatis pemerintah ikut rugi, karena tidak bisa menarik hasil pengenaan cukai dan EPR secara efektif. Karena terjadi tumpang tindih kebijakan, saling senggol.
Maka solusi dari pekerjaan ini harus terjadi kolaborasi antar lintas kementerian dan lembaga terkait, untuk penanganan cukai kemasan dan pelaksanaan EPR yang menjadi kewajiban industri produk berkemasan.
Baca juga:Â Memahami Circular Economi Sampah
Tanggungjawab ini tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 16. Harus dibuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Pasal 13,14 dan 15 UUPS.
Berdasar dari PP EPR tersebut, maka dapat dengan mudah menerapkan pajak atas kemasan produk biasa dan produk kemasan berpemanis atau jenis lainnya.
Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 28 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H