Namun pelaksanaan cukai kemasan yang tidak dibarengi dengan EPR, maka akan terjadi kontraproduktif. Ahirnya perusahaan akan dirugikan. Terlebih masyarak konsumen dan sekaligus sebagai pembayar EPR, semua akan dirugikan bila tidak komprehensif mengatasinya.
Baca juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Jadi harus kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dalam melakukan labeling untuk tujuan atau memberi tanda peringatan migrasi untuk kemasan bagi kesehatan, lingkungan dan cukai.
Jadi perusahaan juga terjadi efisiensi dalam produksi kemasan produk mereka, karena beberapa unsur atau label untuk kemasan sudah komprehensif dalam satu wadah kemasan produk
Labeling pada kemasan produk pangan saat ini belum lengkap, kekurangan untuk label migrasi racun untuk kesehatan dan label ekonomi EPR untuk antisipasi sampah kemasan, belum diatur oleh kementerian terkait.
Baca juga:Â Presidensi G20, Pemantik EPR Sampah Menuju Industri Hijau
Perusahaan akan dirugikan dan otomatis pemerintah ikut rugi, karena tidak bisa menarik hasil pengenaan cukai dan EPR secara efektif. Karena terjadi tumpang tindih kebijakan, saling senggol.
Maka solusi dari pekerjaan ini harus terjadi kolaborasi antar lintas kementerian dan lembaga terkait, untuk penanganan cukai kemasan dan pelaksanaan EPR yang menjadi kewajiban industri produk berkemasan.
Baca juga:Â Memahami Circular Economi Sampah
Tanggungjawab ini tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 16. Harus dibuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Pasal 13,14 dan 15 UUPS.
Berdasar dari PP EPR tersebut, maka dapat dengan mudah menerapkan pajak atas kemasan produk biasa dan produk kemasan berpemanis atau jenis lainnya.