"Merasa perlu meluruskan filosofi Adat Bugis-Makassar pada karangan bunga yang banyak terpasang di rumah Sambo, terhadap makna "Siri Na Pacce" dalam konteks "Pelecehan" Istri Sambo, Tersangka Putri Candrawathi, sehingga Ferdy Sambo merasa "siri atau malu" menjadikan kausalitas membunuh Brigadir Yoshua."
Meluruskan Filisofi Adat Bugis "Siri Na Pacce" atas sebab-musabab Ferdy Sambo membunuh Brigadir Yoshua karena "Siri atau Malu" istrinya dilecehkan.Â
Ada kesan ingin mengaburkan sangkaan hukuman mati Pasal 340 KUHP, dengan mengangkat kausalitas filosofi Adat Bugis-Makassar tersebut. Sangat perlu diluruskan agar tidak salah kaprah.
Kebetulan Ferdy Sambo juga berasal dari Sulawesi Selatan (Barru dan Tana Toraja) dan Menyikapi pemberitaan tentang Kasus Sambo yang dikaitkan dengan "Soal Adat Siri Na Pace di Karangan Bunga untuk Ferdy Sambo, Pengamat: Tak Pengaruhi Penyidikan", perlu sedikit saya beri tanggapan, agar tidak bias memahami Adat Bugis-Makassar. [Baca: Tempo]
Juga meluruskan berita ini "Adat Ferdy Sambo: Jika Istri Dilecehakan, Suami Boleh Membunuh, Senjata Ferdy Sambo untuk Membela Diri", yang dimaksud adat Ferdy Sambo itu adalah adat Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan, dimana Ferdy Sambo berasal.
Meluruskan Filosofi Adat Bugis "Siri Na Pacce" dalam Konteks Pelecehan Putri Sambo
Jangan salah memaknai atau menerapkan filosofi Bugis-Makassar tersebut "Siri Na Pacce", artinya filosofi itu punya koridor dalam memaknainya dan harus bijak dalam pelaksanaannya, tidak hantam kromo, tapi penuh pertimbangan akal dan rasa.
Namun di tengah perjalanan kasus Duren Tiga ini, rumah Ferdy Sambo di Jalan Saguling, Duren Tiga, Jakarta Selatan banyak dihiasi karangan bunga dari beberapa kolega Ferdy Sambo.
Isi atau kalimat dalam karangan bunga itu menyebut dengan kalimat "Siri Na Pace" dalam adat Bugis-Makassar Sulawesi Selatan yang dikaitkan dengan kasus Ferdy Sambo. Tentu dalam kaitan soal "harga diri"Â karena keluarga dilecehkan.
Penulis perlu meluruskan masalah ini, agar tidak bias kepada pengertian atau makna yang lain. Kebetulan saya juga berasal dari Bugis Sulawesi Selatan, yang sedikit paham konteks adat Bugis "Siri Na Pace" tersebut.
Sebenarnya karangan bunga yang terpasang di sekitar rumah Ferdy Sambo di Jl. Duren Tiga dan Jl. Saguling Pancoran Jakarta Selatan itu, sepertinya di pasang oleh teman-teman sekolah Ferdy Sambo saat di SMA Negeri 1 Makassar. Kebetulan Ferdy Sambo memang berasal dari Sulawesi Selatan.
Sekedar informasi di Sulawesi Selatan (sebelum mekar Sulawesi Barat), ada empat suku, yaitu: Bugis, Makassar, Tator dan Mandar. Setelah Mekar, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan Tator) dan Sulawesi Barat (Mandar).
Makna Siri Na Pacce
Siri Na Pacce merupakan filosofi hidup masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berarti menjaga harga diri serta kokoh dalam pendirian.
Kearifan lokal Siri' Na Pacce' dari Bugis Sulsel ini juga sesungguhnya terjabar dalam Pancasila. Nilai-nilai dalam falsafah tersebut senantiasa dipertahankan masyarakat Bugis-Makassar dalam tatanan kehidupan.
"Siri" merupakan bahasa Bugis yang berarti malu. Sementara "Pacce" merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat rela berkorban, bekerja keras, dan pantang mundur.
Kaitan Kasus Sambo?
Nah, dalam kaitan Kasus Ferdy Sambo yang mungkin tujuan dari papan karangan bunga itu. Dalam memberi dukungan bahwa "Kenapa Ferdy Melakukan Pembunuhan?"
Sahabat atau keluarga Ferdy Sambo (melalui karangan bunga) menyampaikan bahwa, apa yang dilakukan Ferdy Sambo terhadap Brigadir Yoshua itu bagian daripada "Siri Na Pacce" efek pelecehan seksual, dimaknakan ada efek "Siri atau Malu" karena keluarga dilecehkan.
Artinya Ferdy Sambo merasa malu (Bugis: Masiri) istrinya Putri Candrawathi di perlakukan semena-mena atau dihina atau dilecehkan harga dirinya oleh orang lain. Maka terjadilah pembunuhan itu. (bagian daripada proses meringankan hukuman).
Saya tidak menerangkan detail tentang masalah ini, cukup makro saja. Agar publik bisa sedikit ada pembanding dalam memaknai filosofi hidup Bugis Siri Na Pacce itu, agar jangan salah makna.
Artikel ini juga, penulis peruntukkan kepada semua kalangan, khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar bisa menarik benang merah dalam kasus Ferdy Sambo, dalam arti bukan pada posisi "Siri Na Pacce".
Bisa ditanyakan pada orang Bugis yang ahli dan paham makna "Siri Na Pacce" untuk mencari pembanding dari pendapat penulis ini, penulis rekom Prof. Dr. Andi Hamzah (Pakar Hukum Pidana), atau Jusuf Kalla (Mantan Wapres). Kebetulan keduanya berasal dari Bugis-Makassar, atau yang lain.Â
Bisa juga dikonfirmasi kepada Irjen Pol Fadil Imron, Kapolda Metro Jaya atau  Brigjen Andi Rian Djajadi, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Kebetulan juga keduanya berasal dari Suku Bugis-Makassar.
Begini.....
Kalau Saudaraku Ferdy Sambo memang berada pada konteks Siri' Na Pacce', karena kebetulan Ferdy berasal juga dari Sulawesi Selatan (Tator-Barru), maka apa yang harus dilakukan Ferdy Sambo, antara lain:
- Dalam konteks kekinian, sikap Siri' Na Pacce' itu tidak mutlak pilihan terahir adalah "membunuh orang yang menghianati istri". Langsung laporkan kepada yang berwajib.
- Tidak demikian cara pelaksanaan adat Siri' Na Pacce' yang harus dilakukan oleh Ferdy Sambo, caranya yang keliru makna. Lelaki Bugis itu gentle dan tidak basa-basi. Nah tindakan Ferdy bagaimana?
- Atau pilihan terahir (kalau memang terjadi pelecehan), ya Ferdy Sambo langsung saja bunuh Brigadir "J" dari tangannya sendiri tanpa melibatkan orang lain, apalagi banyak orang dan tidak ada sandiwara atau intrik untuk hilangkan jejak, itulah lelaki Bugis yang gentle dan setelahnya menyerahkan diri pada yang berwajib, tidak neko-neko bikin alasan atau skenario untuk lari dari tanggung jawab.
- Kalau konteks selingkuh misalnya antara "J" dan Putri Candrawathi, maka pilihannya, Ferdy bunuh keduanya, termasuk istrinya sekalian, bunuh juga. Kurang ajar namanya istri itu kalau begitu Ferdy. Artinya tidak menghargai suami dan keluarga.
[penulis tarik dari sisi positif]Â Jangan sampai maksud atau pesan positif dari karangan bunga itu, paradox, dalam arti memberi signal/pesan pada Ferdy dan Putri agar sportif dan bicara apa adanya sekarang dalam menghadapi perkaranya, jangan bertele-tele. Nah itu baru juga bisa disebut aplikasi Siri Na Pacce.
Nah, dalam konteks filosofi Siri' Na Pacce' pada posisi perkara saat ini, bila Ferdy mau terapkan dengan baik filosofi Bugis-Makassar itu, maka segera bicara jujur apa adanya, konsisten. Itulah makna filosofi Siri' Na Pacce' yang benar dan obyektif.Â
Bertanggungjawab bukan tanggung menjawab, itulah Siri Na Pacce.
Jadi, apa yang dilakukan Ferdy Sambo dalam kaitan pembunuhan berencana itu dan beberapa skenario yang diciptakan serta melibatkan banyak orang untuk menghadapi Brigadir "J" itu sama sekali tidak masuk dalam ranah filosofi Bugis-Makassar Siri' Na Pacce'
Maaf sahabat dan keluarga dari Sulawesi Selatan yang memasang karangan bunga itu, kalau sekirannya kita sesama Bugis-Makassar berbeda paham. Saya harus meluruskan masalah ini, agar tidak bias dan disalahtafsirkan filosofi Bugis itu oleh orang/suku lain di Indonesia.
Saya kebetulan berasal atau lahir di Tanah Bugis, Bumi Arung Palakka, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
Tapi saya harus mengambil sikap obyektif didalam kasus yang menimpa Saudara kita Ferdy Sambo dan keluarganya serta yang berpotensi mencederai insan Polri.Â
Pesan saya pada Ferdy Sambo dan Putri, jujur lebih dari segalanya. Hidupmu belum habis, pangkat dan harga bukan segalanya Ferdy. Ingat anak-anakmu yang penuh harapan, hanya jujur dan sabar menjadi penolongmu.
Juga kebetulan saya dari keluarga Bhayangkara, ayah saya dan ayah Ferdy, Mayjen Pol Pieter Sambo sama-sama Polri dan satu angkatan dari satu Sekolah Polisi yang sama, sekitar tahun 1955 di Bandung. Saya dan Ferdy Sambo belum lahir. Semoga di pahami penjelasan saya ini.
Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 10 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H