Saya tidak menerangkan detail tentang masalah ini, cukup makro saja. Agar publik bisa sedikit ada pembanding dalam memaknai filosofi hidup Bugis Siri Na Pacce itu, agar jangan salah makna.
Artikel ini juga, penulis peruntukkan kepada semua kalangan, khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar bisa menarik benang merah dalam kasus Ferdy Sambo, dalam arti bukan pada posisi "Siri Na Pacce".
Bisa ditanyakan pada orang Bugis yang ahli dan paham makna "Siri Na Pacce" untuk mencari pembanding dari pendapat penulis ini, penulis rekom Prof. Dr. Andi Hamzah (Pakar Hukum Pidana), atau Jusuf Kalla (Mantan Wapres). Kebetulan keduanya berasal dari Bugis-Makassar, atau yang lain.Â
Bisa juga dikonfirmasi kepada Irjen Pol Fadil Imron, Kapolda Metro Jaya atau  Brigjen Andi Rian Djajadi, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Kebetulan juga keduanya berasal dari Suku Bugis-Makassar.
Begini.....
Kalau Saudaraku Ferdy Sambo memang berada pada konteks Siri' Na Pacce', karena kebetulan Ferdy berasal juga dari Sulawesi Selatan (Tator-Barru), maka apa yang harus dilakukan Ferdy Sambo, antara lain:
- Dalam konteks kekinian, sikap Siri' Na Pacce' itu tidak mutlak pilihan terahir adalah "membunuh orang yang menghianati istri". Langsung laporkan kepada yang berwajib.
- Tidak demikian cara pelaksanaan adat Siri' Na Pacce' yang harus dilakukan oleh Ferdy Sambo, caranya yang keliru makna. Lelaki Bugis itu gentle dan tidak basa-basi. Nah tindakan Ferdy bagaimana?
- Atau pilihan terahir (kalau memang terjadi pelecehan), ya Ferdy Sambo langsung saja bunuh Brigadir "J" dari tangannya sendiri tanpa melibatkan orang lain, apalagi banyak orang dan tidak ada sandiwara atau intrik untuk hilangkan jejak, itulah lelaki Bugis yang gentle dan setelahnya menyerahkan diri pada yang berwajib, tidak neko-neko bikin alasan atau skenario untuk lari dari tanggung jawab.
- Kalau konteks selingkuh misalnya antara "J" dan Putri Candrawathi, maka pilihannya, Ferdy bunuh keduanya, termasuk istrinya sekalian, bunuh juga. Kurang ajar namanya istri itu kalau begitu Ferdy. Artinya tidak menghargai suami dan keluarga.
[penulis tarik dari sisi positif]Â Jangan sampai maksud atau pesan positif dari karangan bunga itu, paradox, dalam arti memberi signal/pesan pada Ferdy dan Putri agar sportif dan bicara apa adanya sekarang dalam menghadapi perkaranya, jangan bertele-tele. Nah itu baru juga bisa disebut aplikasi Siri Na Pacce.
Nah, dalam konteks filosofi Siri' Na Pacce' pada posisi perkara saat ini, bila Ferdy mau terapkan dengan baik filosofi Bugis-Makassar itu, maka segera bicara jujur apa adanya, konsisten. Itulah makna filosofi Siri' Na Pacce' yang benar dan obyektif.Â
Bertanggungjawab bukan tanggung menjawab, itulah Siri Na Pacce.
Jadi, apa yang dilakukan Ferdy Sambo dalam kaitan pembunuhan berencana itu dan beberapa skenario yang diciptakan serta melibatkan banyak orang untuk menghadapi Brigadir "J" itu sama sekali tidak masuk dalam ranah filosofi Bugis-Makassar Siri' Na Pacce'
Maaf sahabat dan keluarga dari Sulawesi Selatan yang memasang karangan bunga itu, kalau sekirannya kita sesama Bugis-Makassar berbeda paham. Saya harus meluruskan masalah ini, agar tidak bias dan disalahtafsirkan filosofi Bugis itu oleh orang/suku lain di Indonesia.