"Bila kelak masyarakat tahu akan hak dan kewajibannya dalam pengelolaan sampah, dipastikan bahwa rakyat akan menggugat kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri dan presiden, termasuk perusahaan produk berkemasan, kami akan terus cerdaskan masyarakat agar kritis untuk tidak dibohongi oleh oknum pemerintah dan pemda serta perusahaan produk berkemasan." H. Asrul Hoesein, Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Jakarta.
Terus memantau kondisi sampah plastik dan TPA di Indonesia. dalam perjalanan penulis sejak kemarin 13 Agustus 2022, dari Jakarta ke Sumatera Utara.
Juga memantau kesiapan pemda dan masyarakat dalam memproduksi kompos atau pupuk organik, penguatan kearifan lokal pasca pencabutan subsidi pupuk organik oleh Presiden Jokowi.
Termasuk survey sampah kemasan plastik, juga mendorong pemerintah daerah (pemda), melaksanakan pengelolaan sampah sesuai UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Penulis kali ini menelusuri Sumatera Utara, skedule Kota Medan, Kab. Deli Serdang, Kota Binjai, Kab. Tebing Tinggi dan Kab. Serdang Bedagai.
Baca juga:Â "Human Error Birokrasi" Penyebab Darurat Sampah Indonesia Kebijakan Salah Kaprah
Bila masyarakat tahu akan hak dan kewajibannya dalam pengelolaan sampah, penulis pastikan bahwa rakyat akan menggugat kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri dan presiden, termasuk industri dan/atau perusahaan produk berkemasan dan non kemasan.
Karena tidak melaksanakan kewajibannya, hanya menohok dan menyiksa rakyat karena tidak memberi haknya, pemerintah dan pemda hanya tuntut kewajiban rakyat saja.
Kenapa?
Karena kebijakan yang dibuat oleh Presiden, Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sangat melanggar UUPS dan membiarkan masalah itu, tanpa keinginan mau berubah ikuti UUPS.
Baca juga:Â Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia
Banyak kesalahan pemerintah, khususnya Kementerian Kordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagai leading sektor pengelolaan sampah, ahirnya pemda ikut-ikutan salah, bodohi rakyat saja.
Kemenko Marves dan KLHK, jelas membiarkan pelanggaran UUPS tersebut dan sepertinya sudah stres dan malu mengakui kesalahannya dalam melaksanakan kewajibannya dari Negara, sehingga terjadi pembiaran. Ingat, rakyat tidak semua bodoh Bro/Sis.
Banyak oknum lintas kementerian dan pemda, melakukan konsfirasi - TST - diduga sudah menerima gratifikasi dari berbagai pihak yang mengambil untung dari adanya kesengajaan perbuatan keliru dan/atau sengaja melabrak UUPS.
Baca juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Dari banyak dampak atas pembiaran itu dari pemda dan pemerintah pusat, coba penulis tunjukkan salah satu kesalahan itu, adalah:
Kebijakan berdasar perda untuk didenda bagi pembuang sampah sembarangan sebesar 50 juta rupiah, itu salah besar.
Karena pemerintah sendiri yang melanggar UUPS dengan menerbitkan perda sampah dan itu yamg diikuti kepala desa/lurah.
Baca juga:Â KPB-KPTG Biang Kerok Indonesia Darurat Sampah
Jadi dimana kesalahan pemerintah dan pemda untuk balik mengurung oknum jahat di kementerian dan pemda, adalah melanggar UUPS dan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Denda baru bisa dilakukan oleh pemerintah bila sebelumnya melaksanakan kewajibannya dengan membuat sistem sesuai UUPS dan memberi insentif bagi pengelola sampah.
Jadi pemerintah dan perusahaan yang menciptakan potensi sampah, seharusnya mereka yang di denda atau digugat perdata dan dikurung atas pelanggaran pidana khusus (KKN), karena tidak menjalankan Pasal 12,13,14,15,21,44 dan 45 UUPS.
Baca juga:Â Bank Sampah, EPR, dan Kantong Plastik Berbayar
Dasar kesalahan larangan membuang sampah itu, karena tidak melaksanakan sebelumnya pasal pasal tersebut diatas, ahirnya Pasal 21 huruf (a) insentif diabaikan oleh pemerintah dan pemda, tapi langsung melaksanakan Pasal 21 huruf (b) sanksi atau denda.
Banyak bupati/walikota di Indonesia mengeluarkan kebijakan "Buang Sampah Sembarangan Denda 50 Juta" ini di Indonesia, termasuk Jakarta.
Semua ini penulis pastikan salah besar, karena melabrak UUPS. Artinya pemda tidak memberi ruang - sistem - insentif sebelumnya.
Harap Polisi, Jaksa dan KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran UUPS dan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Lubuk Pakam, 15 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H