Karena tertanam mindset pegawai, bukan mental bebas sebagai pengusaha atau entrepreneurship. Lingkungan yang "memaksa" membentuk mindset pegawai, ini merupakan benih mental korup, terlahir sejak dini.
Birokrasi Bermental Priyayi
Sampai pada ahirnya duduk menjadi aparat di birokrasi, mental priyayi itu terbawa. Berlagak penguasa yang ingin selalu diberi "karpet merah" kemanapun pergi dan berada.
Pada saat duduk jadi pejabat, tidak boleh disanggah. Sedikit ada yang kritis, sudah dianggap menentang atau membangkan, dinilai salah dan tidak sopan dalam menyampaikan setiap pendapatnya.
Padahal sikap kritis adalah sikap peka terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar lingkungan. Berpikir kritis adalah berpikir secara cerdas dan solutif dengan narasi dan sumber-sumber yang jelas dan logis.
Rakyat selalu diminta menundukkan pandangan, dilarang menaikkan suara. Persis Kasta jelata masa EDO (era shogun) di Jepang, yang mana rakyat bisa dipancung hanya karena menatap bangsawan.
Penghambat revolusi mental itu karena mental priyayi ini belum berubah di masa orde reformasi, terus berlanjut sejak masa penjajahan - kerajaan - ke masa orde baru, tanpa ikut direformasi.
Jadi, modal profesionalisme tidak terlalu dibutuhkan dalam tugas keseharian. Tidak jadi soal mau mampu atau tidaknya dalam bekerja, yang penting masih kerabat dan bersedia menjadi pengikut apa kata paduka.
Bila demikian adanya, maka yang harus dimiliki adalah skill atau kemampuan menguasai tatakrama "3S" yaitu sowan, sungkem dan setor. Jadi penurut saja - ABS/AIS - sebagai modal utamanya.
Perlakuan super spesialis inilah yang mempatri mentalitas aparat birokrasi yang masih menggrogoti bangsa Indonesia, inilah sebenarnya yang dimaksud perlunya "revolusi mental" yang diinginkan oleh Nawacita Presiden Jokowi.
Bagaimana Solusinya?