Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Indonesia Teledor Belajar Pemilu Pasca Orde Baru

29 Juli 2022   18:09 Diperbarui: 1 Agustus 2022   21:00 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."

Semua berasal dan berahir dari rakyat, maka permudah jangkauan pelayanan dan penuhi kebutuhan dasar rakyat. Termasuk permudah Pemilihan Umum (Pemilu), bila ingin melunakkan atau merebut hati pemilih atau konstituen.

Bangsa Indonesia tidak mampu dan gagal belajar dari pengalaman demokrasi di negeri sendiri, melalui proses berpartai pada perjalanan beberapa kali Pemilu sejak tahun 1955. Seharusnya Indonesia sudah "mahir" berdemokrasi.

Sejak reformasi, sudah lima kali Pemilu (1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019). Sepertinya kita tidak memetik makna dan pengalaman sepanjang 25 tahun.

Sudah menyaksikan, mengalami dan mengikuti perjalanan Partai Politik (Parpol), tapi tetap saja teledor "belajar" atas pengalaman Pemilu pasca Orde Baru atau selama masa reformasi.

Diperkirakan Pemilu 2024, pesertanya mendekati angka 40 Parpol, berarti kembali sama di awal reformasi, ada 48 Parpol di Pemilu 1999. Sebuah fakta sejarah, reformasi Indonesia kebablasan. Terlalu bebas dan dibebaskan [1]

Baca juga: 45 Partai Politik Sudah Daftar di Sipol Pemilu 2024

Perjalanan Pemilu di Indonesia

Pemilu 1955, diikuti sekitar 30 Parpol. Pemilu 1971 ada 10 Parpol dan Pemilu 1977-1997 menciut menjadi 3 Parpol di masa Orde Baru, berarti Presiden ke-2 Soeharto berhasil belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya.

Setelah orde reformasi, Parpol lagi-lagi membengkak menjadi 48 Parpol (1999) lalu turun 24 Parpol (2004) dan naik lagi 38 parpol (2009), terjadi proses adaptasi reformasi. 

Pemilu 2014 diikuti oleh 12 Parpol dan Pemilu 2019 naik lagi menjadi 14 Parpol. Baca Kompas  [2], Jumlah Partai Politik Peserta Pemilu dari Masa ke Masa. Sekarang di Pemilu 2024 naik lagi, berarti yang menonjol kepentingan pribadi, itu menjadi tolak ukur penilaian.

Baca juga: Survei Indopol, Lebih dari 35 Persen Responden Tak Percaya Parpol

Tidak Mencerna Tujuan Ambang Batas

Padahal maksud kebijakan atas adanya aturan ambang batas adalah memperbaiki kualitas, baik itu pada ambang batas atau parliamentary threshold untuk parlemen di Pemilu berkualitas ataupun presidential threshold untuk Pilpres berkualitas. [3]

Ujung daripada Pemilu untuk menemukan pemimpin melalui Pilkada dan Pilpres yang berkualitas. Artinya Pemilu harus efisien dan efektif, agar terpilih legislator yang berbobot dan berpikir serta bekerja untuk perut rakyat, bukan mendahulukan perut diri dan partainya

Tapi senyatanya para legislator kita di parlemen, setali tiga uang. Masih berpikir subyektif untuk perut sendiri daripada perut rakyat. Belum mendekati negarawan yang dikehendaki rakyat dan negara agar menjadi panutan di tengah masyarakat yang dinamis.

Kenapa?

Ujungnya pada saat Pilkada dan Pilpres itu diharuskan bersatu atau berkoalisi untuk mencapai ambang batas pencalonan pada Pilkada ataupun Pilpres.

Jadi buat apa banyak Parpol kalau tidak profesional alias tidak berpihak pada rakyat. Akan semakin sulit Parpol itu menemukan calon-calon pemimpin handal.

Semakin banyak Parpol semakin mudah gugur suara rakyat yang diwakili oleh Parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.

Coba perhatikan, sudah berapa banyak pemimpin daerah, menteri, anggota DPR/D yang terjaring masalah korupsi. Awal pencegahan korupsi dari Pemilu, Pilkada dan Pilpres.

Kenapa korupsi? 

Karena biaya politik sangat tinggi, mulai dari penjaringan sampai pelantikan pejabat terpilih, semua pakai fulus. Ahirnya rakyat terjangkit, menunggu serangan fajar.

Baca juga: Parliamentary Threshold: Ambang Batas Parlemen dalam Pemilu di Indonesia

Coba perhatikan sekarang menuju Pilpres 2024, bukankah para Parpol stres mencari koalisi untuk memajukan para jagoannya.

Apa arti sebuah Parpol tidak mengusung kadernya sendiri? Bukankah bisa disebut para anggota Parpol itu gagal berpartai kalau di dalam internalnya sendiri, tidak bisa mencetak kader.

Kalau ada kader yang berbobot, seperti Ganjar Pranowo kader PDI-P. Diprediksi bakal kandas di partainya sendiri, karena terhalang subyektif oleh rasa, terbaca Ketua Umum PDI-P Megawati ingin Capreskan puterinya Puan Maharani, Ketua DPR RI. [4]

Baca juga: Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024

Parpol yang banyak jumlahnya, sebenarnya bukan mengejar atau mewakili aspirasi masyarakat. Tapi itu hanya mewakili ambisi para politikus sendiri, masyarakat hanya jadi obyek dan bukan subyek.

Singkat kata, Indonesia harus merevisi UU. Pemilu dan UU. Partai Politik, agar bisa meminimalisir Parpol. Untuk lebih mempermudah pemilih dan efisiensi biaya, terlebih akan menjadikan Pemilu cerdas dan berkualitas.

Parpol ke depan maksimal lima Parpol dan idealnya kembali saja menjadi tiga parpol sebagaimana masa Orde Baru, untuk mengejar dan mencapai kualitas Pemilu, Pilkada dan Pilpres.

Biar Indonesia lebih cerdas berdemokrasi, setop ikuti syahwat materi dan kekuasaan para elit-elit politikus yang gonta-ganti partai atau mendirikan partai, lalu mati.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Responden Ingin Jumlah Parpol Tak Terlalu Banyak di Pemilu 2024

Rekomendasi untuk Pemerintah:

Pertama: Revisi UU. Pemilu dan Partai Politik, perkecil jumlah Parpol. Perkuat dan dahulukan kader - kaderisasi - untuk menjaring calon-calon pemimpin masa depan.

Kedua: Parpol harus dibiayai oleh negara, untuk mencegah korupsi akibat setoran ke partai, diduga ini yang memperberat anggota Parpol yang duduk di legislatif dan eksekutif.

Ketiga: DPD RI sebaiknya digabungkan saja pada DPR RI - Fraksi - sebagai utusan Daerah, akan lebih berfungsi daripada sekarang. Syarat sudah kacau balau, tidak independen lagi terhadap Parpol, kembalikan ke semula, 2002. [5]

Bagaimana Pendapat Anda?

Jakarta, 29 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun