Kenapa korupsi?Â
Karena biaya politik sangat tinggi, mulai dari penjaringan sampai pelantikan pejabat terpilih, semua pakai fulus. Ahirnya rakyat terjangkit, menunggu serangan fajar.
Baca juga:Â Parliamentary Threshold: Ambang Batas Parlemen dalam Pemilu di Indonesia
Coba perhatikan sekarang menuju Pilpres 2024, bukankah para Parpol stres mencari koalisi untuk memajukan para jagoannya.
Apa arti sebuah Parpol tidak mengusung kadernya sendiri? Bukankah bisa disebut para anggota Parpol itu gagal berpartai kalau di dalam internalnya sendiri, tidak bisa mencetak kader.
Kalau ada kader yang berbobot, seperti Ganjar Pranowo kader PDI-P. Diprediksi bakal kandas di partainya sendiri, karena terhalang subyektif oleh rasa, terbaca Ketua Umum PDI-P Megawati ingin Capreskan puterinya Puan Maharani, Ketua DPR RI. [4]
Baca juga:Â Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024
Parpol yang banyak jumlahnya, sebenarnya bukan mengejar atau mewakili aspirasi masyarakat. Tapi itu hanya mewakili ambisi para politikus sendiri, masyarakat hanya jadi obyek dan bukan subyek.
Singkat kata, Indonesia harus merevisi UU. Pemilu dan UU. Partai Politik, agar bisa meminimalisir Parpol. Untuk lebih mempermudah pemilih dan efisiensi biaya, terlebih akan menjadikan Pemilu cerdas dan berkualitas.
Parpol ke depan maksimal lima Parpol dan idealnya kembali saja menjadi tiga parpol sebagaimana masa Orde Baru, untuk mengejar dan mencapai kualitas Pemilu, Pilkada dan Pilpres.
Biar Indonesia lebih cerdas berdemokrasi, setop ikuti syahwat materi dan kekuasaan para elit-elit politikus yang gonta-ganti partai atau mendirikan partai, lalu mati.