Tidak melakukan program terintegrasi antara K/L terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian (Kementan), masing-masing bekerja parsial. Akhirnya semua stuck pada tahap implementasi program budidaya dan produksi.
KLHK sebagai leading sektor sampah bekerja sendiri, itu pun dalam mengelola sampah tidak memikirkan sumber daya sampah organik yang melimpah untuk mendorong pembangunan pertanian organik, harusnya kolaborasi dengan Kementan dan K/L lainnya.
Begitupun Kementan, tidak fokus dalam melakukan revitalisasi lahan yang sudah rusak tergerus pupuk kimia, dengan melakukan konversi pupuk kimia ke pupuk organik dengan memanfaatkan sumber daya sampah organik yang berlimpah.
Baca juga:Â Sampah Terus Menumpuk dan Bermasalah, Apa Solusinya?
Mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan, mutlak melalui pertanian organik, sebuah keniscayaan. Bukan terus melakukan pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk kimia.
Perbandingan pola produksi antara pertanian organik dan konvensional sangat jauh. Di mana pertanian organik akan menekan biaya pengolahan lahan dan meningkatkan volume produksi, sebaliknya terjadi pada pertanian konvensional, mahal dan tanah rusak.
Pertanian konvensional dengan biaya besar (karena mahalnya pupuk kimia) hanya mampu produksi maksimal 4-5 ton per hektar padi, sementara pertanian organik dengan biaya murah (produksi sendiri pupuk organik), mampu produksi 7-12 ton per hektar padi.
Baca juga:Â 2000 Desa Organik, Janji Jokowi Belum Terpenuhi
Potensi Sampah Organik
Berdasarkan data KLHK tahun 2021, potensi produksi sampah Indonesia tahun 2022 dengan volume sekitar 190,5 ribu ton per hari. Berarti ada sekitar 68,6 juta ton sampah per tahun. Â
Dari total 68,6 juta ton sampah domestik per tahun, berarti ada 80% sampah organik atau sekitar 55,2 juta ton sampah organik per tahun. Sementara kebutuhan lahan pertanian sekitar 5-10 ton per hektar. Sangat potensi untuk mengeksplor sampah untuk mendukung pertanian organik.