Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ini Syarat Fundamental Membangun Ketahanan Pangan

22 Juli 2022   08:27 Diperbarui: 22 Juli 2022   14:58 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kondisi beras curah yang diperdagangkan di Jakarta (20/7/22). Sumber: DokPri

"Ketahanan pangan sangat penting dalam mendukung pertahanan keamanan. Bukan hanya sebagai komoditi ekonomi, pangan merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahanan pangan mempunyai pengaruh yang penting terhadap keamanan." H. Asrul Hoesein, Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.

Masalah ketahanan pangan harus serius ditangani oleh pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) karena menyangkut keberlangsungan negara dan kehidupan generasi penerus bangsa. Jika krisis pangan terjadi, stabilitas negara akan ikut terganggu.

Banyak pembahasan tentang ketahanan dan kemandirian pangan, namun masih dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh petani dan masyarakat sebagai pelaku utama - eksekutor - ketahanan pangan nasional. 

Tidak fokus pada masalah fundamental. Bahwa tanah persawahan dan perkebunan lagi sakit parah karena kehabisan unsur hara, akibat diserang pupuk kimia. Pupuk kimia itulah yang mengeraskan tanah dan membawa hama serangga.

Akhirnya apa yang terjadi, semua berteriak tentang pupuk langka dan mahal, karena tidak tahu masalah tanah yang kritis. Akhirnya tidak ada pemikiran untuk memperbaiki struktur unsur hara tanah. 

Maka abai melihat potensi sampah yang melimpah dan murah disekitar wilayah sendiri dan hanya dibuang saja. Sementara obat mujarab daripada lahan sawah atau kebun minim unsur hara adalah pupuk kompos organik, yaitu sampah yang didekomposisi menjadi kompos.

Petani hanya diberi pupuk organik kompos tapi tidak diberi pemahaman bagaimana cara menggunakannya dan juga volume tidak cukup sesuai. Akhirnya petani hanya menghambur dan tidak di-mix (campur/aduk) dengan tanah, itu kesalahan mendasar pemerintah.

Baca juga: Pemerintah Cabut Subsidi Pupuk Organik, Ini Solusi Petani?

Dalam menggunakan pupuk kompos organik, harus berstandar Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004 spesifikasi kompos dari sampah organik dengan cara mix kompos 5-10 ton per hektar lahan sawah atau kebun. Sekali lagi bukan dihambur saja, tapi diaduk dengan tanah.

Belum ada bahasan yang menyentuh hal mendasar seperti mereklamasi lahan persawahan yang sudah rusak parah karena kehilangan unsur hara dan tidak adanya solusi tersistem untuk mengatasi atau memperbaiki lahan sawah dan kebun.

Agar ketahanan dan kemandirian pangan bisa terwujud dan berkelanjutan, maka perbaiki masalah yang paling fundamental, tanah. 

Tanah sudah kehilangan unsur hara, akibat kejenuhan terhadap pemakaian pupuk kimia dari tahun ke tahun yang menjadi andalan pemerintah selama ini.

Jarang diangkat dalam diskusi untuk memperbaiki kualitas lahan, umumnya hanya bicara hal kuantitas penambahan luas lahan tanam, irigasi sampai pembangunan food estate menjadi topik yang paling hangat diperbincangkan.

Kekeliruan penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian minim unsur hara oleh petani serta lalainya masyarakat kota/desa mengelola sampah organik di Indonesia, bukan kesalahan petani dan masyarakat. Tapi semua kesalahan itu bertumpu pada pemerintah yang tidak profesional dan proporsional.

Baca juga: Sinergi Program Vokasi dan Tematik dalam CSR Sampah

Penulis bersama RRI NTB di lahan pertanian organik Gunung Rinjani Lombok Timur, NTB. Sumber: DokPri
Penulis bersama RRI NTB di lahan pertanian organik Gunung Rinjani Lombok Timur, NTB. Sumber: DokPri

Apa Yang Harus Dilakukan?

Segera mengembalikan unsur hara tanah sawah dan kebun yang sudah rusak oleh pupuk kimia, hanya satu solusinya adalah mengonversi pupuk kimia ke pupuk organik.

Sementara untuk memperoleh pupuk organik, hanya satu solusinya yaitu mengelola sampah organik menjadi pupuk organik kompos, granul atau jenis pupuk organik lainnya, sesuai mandat yang diamanatkan oleh regulasi sampah.

Kegagalan selama ini oleh pemangku kepentingan pertanian dan persampahan, karena dalam pola pikir dan pola tindak tidak profesional dan proporsional, karena hanya bekerja secara parsial dengan menunjukkan ego sektoral yang sangat kental. Sesungguhnya negara tidak hadir dalam urusan pertanian dan persampahan.

Baca juga: Kenapa Pupuk Kompos Sampah Harus Berstandar SNI

Sampai akhirnya pemerintah dan pemda belum mendapatkan solusi komprehensif terhadap ketahanan pangan dan sampah, karena tidak mendorong pembangunan pertanian organik berbasis sampah dengan pola kolaborasi antar Kementerian dan Lembaga (K/L) yang sehat.

Tidak melakukan program terintegrasi antara K/L terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian (Kementan), masing-masing bekerja parsial. Akhirnya semua stuck pada tahap implementasi program budidaya dan produksi.

KLHK sebagai leading sektor sampah bekerja sendiri, itu pun dalam mengelola sampah tidak memikirkan sumber daya sampah organik yang melimpah untuk mendorong pembangunan pertanian organik, harusnya kolaborasi dengan Kementan dan K/L lainnya.

Begitupun Kementan, tidak fokus dalam melakukan revitalisasi lahan yang sudah rusak tergerus pupuk kimia, dengan melakukan konversi pupuk kimia ke pupuk organik dengan memanfaatkan sumber daya sampah organik yang berlimpah.

Baca juga: Sampah Terus Menumpuk dan Bermasalah, Apa Solusinya?

Mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan, mutlak melalui pertanian organik, sebuah keniscayaan. Bukan terus melakukan pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk kimia.

Perbandingan pola produksi antara pertanian organik dan konvensional sangat jauh. Di mana pertanian organik akan menekan biaya pengolahan lahan dan meningkatkan volume produksi, sebaliknya terjadi pada pertanian konvensional, mahal dan tanah rusak.

Pertanian konvensional dengan biaya besar (karena mahalnya pupuk kimia) hanya mampu produksi maksimal 4-5 ton per hektar padi, sementara pertanian organik dengan biaya murah (produksi sendiri pupuk organik), mampu produksi 7-12 ton per hektar padi.

Baca juga: 2000 Desa Organik, Janji Jokowi Belum Terpenuhi

Fakta sampah organik dibuang ke TPA yang menjadi pakan sapi, ini juga tidak sehat bagi hewan dan manusia. Sumber: DokPri
Fakta sampah organik dibuang ke TPA yang menjadi pakan sapi, ini juga tidak sehat bagi hewan dan manusia. Sumber: DokPri

Potensi Sampah Organik

Berdasarkan data KLHK tahun 2021, potensi produksi sampah Indonesia tahun 2022 dengan volume sekitar 190,5 ribu ton per hari. Berarti ada sekitar 68,6 juta ton sampah per tahun.  

Dari total 68,6 juta ton sampah domestik per tahun, berarti ada 80% sampah organik atau sekitar 55,2 juta ton sampah organik per tahun. Sementara kebutuhan lahan pertanian sekitar 5-10 ton per hektar. Sangat potensi untuk mengeksplor sampah untuk mendukung pertanian organik.

Dari 55,2 juta ton sampah organik, akan terjadi penyusutan saat pengomposan sekitar 30-40%, maka ada potensi produksi pupuk organik sekitar 33,12 juta ton pupuk kompos organik curah per tahun, belum dihitung berapa banyak pupuk kompos cair yang bisa juga dipergunakan pada perikanan darat dan pertanian/perkebunan sendiri.

Sungguh luar biasa potensi pupuk organik dari sampah selama ini terbuang percuma di Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) oleh pemerintah dan pemerintah daerah di 438 TPA yang tersebar di 514 kabupaten dan kota seluruh Indonesia.

Presiden Jokowi melalui Kementan telah mencabut subsidi pupuk organik per Juli 2022, maka sebuah momentum yang tepat untuk mendorong seluruh pemda di Indonesia mengelola sampah organik menjadi pupuk organik.

Baca juga: Peluang dan Masalah Sampah di Tahun 2022

Tentang Ketahanan Pangan

Ada tiga strategi utama untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian pangan adalah pengembangan produksi budidaya lahan berbasis pertanian organik, penganekaragaman pangan dan pengembangan pangan fungsional secara tersistem dari hulu ke hilir secara dinamis dan berkelanjutan.

Investasi perlu diarahkan secara proporsional, baik di sektor ekonomi maupun sosial dengan mempertimbangkan daya ungkit kebijakan dan program lainnya seperti peningkatan kesempatan usaha dan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, serta peningkatan penyediaan dan ekspor pangan.

Pembangunan ketahanan dan kemandirian pangan membutuhkan pendekatan teknologi, ekonomi, sosial (terinasuk budaya), dan lingkungan secara sinergis.

Ilustrasi: Pola ketahanan pangan. Sumber: Balitbang Kementan.
Ilustrasi: Pola ketahanan pangan. Sumber: Balitbang Kementan.

Baca juga: Reformasi Karakter Birokrasi dalam Penanganan Sampah

Penegakan hukum yang tegas agar pembangunan berkelanjutan di bidang sampah, pangan, pertanian, dan industri bisa diupayakan.

Perlu dikembangkan secara holistik berkesinambungan dengan teknologi benih dan budi daya tanaman, ikan, dan ternak yang hemat input dan tinggi output dengan minimal residu, dalam satu kesatuan program terintegrasi menuju pertanian organik bebas sampah.

Selain itu juga perlu teknologi peningkatan kualitas atau mutu produk mengikuti kaidah keamanan pangan dan selera konsumen yang cenderung memilih pola hidup sehat. Tentu dengan selalu memperhatikan produksi dengan standar industri nasional.

Ayo kita segera mengambil langkah konkret yang menyeluruh, sistemik, dan berkelanjutan dalam mengelola potensi atau sumber daya sampah organik menuju ketahanan pangan yang holistik berkelanjutan.

Baca juga: 75 Tahun Koperasi, Momentum Kebangkitan Ekonomi Pasca Covid-19

Program dan kegiatan yang dimiliki oleh berbagai kementerian dan lembaga terkait yang masih parsial, kita rubah dengan melakukan kolaborasi para pihak menuju pembangunan pertanian terpadu bebas sampah dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia.

Badan pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) PBB, memperkirakan akan terjadi kelangkaan pangan dunia pada tahun 2050 yang tentu disebabkan karena meningkatnya jumlah penduduk dunia yang diprediksi akan menembus angka 9-10 miliar jiwa.

Begitu pula dengan kondisi di dalam negeri, angka pertumbuhan penduduk yang menembus angka 270-300 juta menimbulkan masalah tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan, jika tidak ada upaya yang baik dan optimal maka bukan tidak mungkin wabah krisis pangan bisa juga terjadi di Indonesia.

Jakarta, 22 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun