Pada ahir 2015, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK, mengeluarkan SE pertama oleh Dirjen PSLB3 tertanggal 15 Desember 2015, kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota atas perihal rencana kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB).
Selanjutnya, pada tanggal 17 Februari 2016, Dirjen PSLB3 KLHK menerbitkan lagi SE kedua Nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, atas kebijakan KPB tersebut telah diberlakukan dan di launching oleh Menteri LHK tanggal 21 Februari 2016 di Bundaran HI Jakarta bersamaan HPSN 2016.
Dalam SE kedua tersebut, Dirjen PSLB3 KLHK tanpa persetujuan lagi dengan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana maksud SE pertama (2015). Tapi hanya melibatkan dalam pembahasan bersama (persetujuan) dari BPKN, YLKI dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) yang kemudian menjadi eksekutor melalui toko ritel seluruh Indonesia, anggota dan non anggotanya.
Baca Juga:Â Kantong Plastik Berbayar Digugat ke MA
Dalam kebijakan KPB tersebut berulang kali berubah SEnya, sampai ahirnya di tahun yang sama (2016), berubah nama dari KPB ke Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Pergantian nama ini sesungguhnya terbaca "akal-akalan" saja oleh oknum PSLB3 KLHK atau hanya ingin mengganti atau membuang prasa "berbayar" agar tidak terkesan bahwa kantong plastik itu dijual. Artinya KPB sama saja maknanya dengan KPTG, dari pergantian nama ini sudah teranalisa adanya dugaan permainan kotor oleh oknum PSLB3 KLHK dalam kebijakan KPB-KPTG ini yang keluar dari maksud keberadaannya.
Publik perlu ketahui bahwa, kantong plastik yang diserahkan pedagang ritel pada konsumennya itu sesungguhnya merupakan kewajiban pedagang, tidak boleh dijual. Kalaupun di jual, maksud dan peruntukannya harus sesuai dengan aturan yang ikut mengikatnya dan keputusan kebijakannya bukan dalam bentuk SE.
BPKN dan YLKI harus melindungi konsumen, bukan malah membiarkan toko ritel anggota/non anggota Aprindo melakukan penjualan kantong plastik atau wadah jenis lainnya melalui toko ritel anggotanya di seluruh Indonesia. Untuk memenuhi kewajiban toko ritel, tidak ada istilah ramah lingkungan. Karena soal sampah mempunyai kebijakan tersendiri, bukan menjual dan melarang kantong plastik.
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Jelas kebijakan KPB-KPTG tersebut sangat merugikan konsumen atau rakyat. Walau alasannya ingin merubah paradigma kelola sampah di masyarakat, tapi cara dan strateginya keliru. Karena kebijakan ini melabrak UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Juga SE KPB-KPTG itu melanggar KUH Perdata khususnya Pasal 612, selain itu, surat edaran kantong plastik berbayar juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Â Hal ini karena barang yang mencemari lingkungan seharusnya tidak boleh diperjualbelikan, termasuk kantong plastik.
Seharusnya pihak BPKN dan YLKI fokus dan konsentrasi pada perlindungan konsumen atas pemenuhan hak dalam transaksi jual beli menggunakan wadah yang menjadi kewajiban toko ritel. Bukan loncat mengurus sampah yang diduga ikut menyetujui kebijakan KPB-KPTG yang di jalankan oleh anggota dan non anggota Aprindo. Hal sampah sudah memiliki rule atau kebijakan tersendiri di UUPS.