Hanya saja pelaksanaan pasal-pasal tersebut, juga pemda perlu menyiapkan TPA Control Landfill dan Sanitary Landfill untuk antisipasi residu dan LB3 berat dari kawasan yang tidak bisa dikelolanya, ini juga sesuai amanat Pasal 44 UUPS.
Maka berdasar pada pasal-pasal tersebut diatas, dapat dipastikan bahwa biaya utama pengelolaan sampah bukan berasal dari APBN/D, kecuali pembangunan TPA Control Landfill dan Sanitari Landfill sebagaimana amanat Pasal 44 UUPS.
Sekedar cacatan penting untuk Baleg DPR RI, bahwa dana utama dari pengelolaan sampah di Indonesia itu bersumber dari EPR dan CSR serta sumber dana swadana atas kewajiban pemilik kawasan komersil, perkantoran, pertokoan, hotel, restoran dan lainnya. Bila UUPS tetap akan di revisi, maka perlu ada penguatan pelaksanaan atas sistem dan penggunaan EPR dan CSR serta insentif bagi pengelola sampah dari hulu-hilir.
Baca Juga:Â Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia
Penegasan Peraturan Desa
Juga tidak kalah pentingnya dalam revisi UUPS tersebut, perlu dimasukkan satu bab atau beberapa pasal tentang dasar Pemerintah Desa dan Kelurahan serta Badan Musyawarah Desa (BPD), untuk menerbitkan Peraturan Desa (Perdes). Sebagai landasan pengelolaan sampah di garda terdepan bersama stakeholder pengelola sampah dan termasuk dari pihak perusahaan industri berkemasan, non kemasan dan industri daur ulang.
Fakta, selama ini hampir seluruh pemda di 514 kabupaten dan kota, tidak mampu mengantisipasi sampah, sampai ke wilayah perdesaan. Ahirnya banyak ditemukan pelanggaran yang terpaksa dilakukan oleh kepala desa dalam mengelola sampahnya di desa. Ahirnya tercecer ke sungai lalu berahir ke laut.
Hanya sekitar dalam wilayah ibukota kabupaten dan kota yang mampu diatasi oleh pemda, itupun tetap di timbun sebagian di TPA dan juga banyak berceceran di bantaran sungai. Maka potensi pelanggaran dan tercecernya sampah ke bumi sangat rawan dan bermasalah.
Hal kegagalan pengelolaan sampah tersebut juga didasari karena Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, telah dicabut pada bulan April 2016 oleh Menteri Dalam Negeri. Padahal Permendagri 33/2010 tersebut sangat penting sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder sampah.
Maka mengantisipasinya, pemerintah desa dan kelurahan perlu diberi kekuatan, demi keleluasaan berkreasi bersama stakeholder (pengelola sampah dan perusahaan) dalam mengelola sampahnya sehingga dapat berdaya guna menjadi sumber daya, baik sosial, budaya maupun ekonomi serta yang utama bebas dan mencegah dari pelanggaran hukum.
Sebenarnya tanpa revisi UUPS juga perdes bisa diterbitkan, sebagaimana yang telah kami di Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya lakukan dalam pendampingan di pemerintah desa dan pemda seluruh Indonesia.Â