"Tidaklah adil bila dana pengelolaan sampah diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/D), karena sesusungguhnya dana utama pengelolaan sampah telah dan akan dibayar oleh konsumen melalui mekanisme Extanded Producer Responsibility (EPR). Artinya, masyarakat akan bayar doubel tiga kali bila ditarik juga dari APBN/D dan Retribusi." H. Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.
Sepertinya DPR RI sudah gerah mengamati dan menyaksikan pengelolaan sampah di Indonesia belum beres-beres, maka Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bermaksud melakukan peninjauan dan revisi UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), setelah sebelumnya DPD RI telah melakukan hal yang sama di tahun 2020.
Kegagalan pengelolaan sampah di Indonesia bukan karena regulasi sampah yang bermasalah atau midset masyarakat yang keliru alias bodoh, tapi karena masalah non teknis alias human error oknum pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) yang salah urus sampah, belum atau tidak melaksanakan regulasi sampah sesuai yang diamanatkannya. Khususnya, lalai menerbitkan PP. EPR sesuai mandatory UUPS.
Sebenarnya DPD RI, dua tahun lalu (2019) bermaksud melakukan usulan revisi UUPS ke DPR RI. Penulis sempat di undang sebagai narasumber dalam rencana tersebut, di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan Jakarta (22/1/20), Baca beritanya di Pengelolaan Sampah Masih Buruk dalam 100 Hari Jokowi Maruf.
Baca Juga:Â Apa Kabar Usia 12 Tahun UU Sampah
Penulis telah menyampaikan pada Pleno RDPU di DPD RI, bahwa tidak dibutuhkan revisi UUPS, hanya saja perlu penegakan aturan UUPS lebih disiplin, pertegas regulator, fasilitator dan operator serta lebih penting lagi adalah segera DPD RI mendorong DPR RI dan Presiden Jokowi, agar terbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Extanded Producer Responsibility (EPR), sebagaimana mandat atau perintah Pasal 16 UUPS.
EPR merupakan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diperluas. Dimana EPR merupakan dana sampah ex-kemasan produk yang dibayar oleh konsumen (masyarakat) melalui sistem penyatuan nilai EPR dalam mekanisme harga produk, artinya biaya pengelolaan sampah telah dan akan dibayar oleh konsumen (baca: rakyat). Kebijakan dari EPR ini harus tertuang dalam sebuah peraturan pemerintah, sebagaimana amanat dari UUPS, bukan dalam bentuk peraturan menteri.
Baca Juga:Â Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR
Babak Baru UUPS, Perlukah di Revisi?