Hampir pasti semua organisasi profesi di Indonesia mengalami perpecahan, lalu muncul organisasi baru sebagai tandingannya. Sebuah fenonena yang kurang elok di negara Panca Sila dan pasti ujungnya menghasilkan ketidakdisiplinan dalam berorganisasi.
"Integritas adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Pikiran, hati  dan perbuatan harus sejalan seirama." Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Sampah (PKPS) Indonesia.
PDSI Tidak Perlu Berdiri
Ikatan Dokter Indonesia atau The Indonesian Medical Association yang kemudian disingkat IDI didirikan sekitar 72 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1950. Sebuah organisasi yang sangat perlu solid, profesional dan disiplin tingkat tinggi, karena menyangkut pada kesehatan manusia itu sendiri secara langsung.
IDI yang dikenal sebagai organisasi profesi yang paling solid selama ini, juga ahirnya dapat angin "kebebasan atas reformasi yang kebablasan" juga terjadi perpecahan, seharusnya tidak terjadi. Jelas ini akibat daripada keputusan IDI yang mencabut atau memberi sanksi pada Dokter Terawan, sudah dapat diduga atau diprediksi asal muasalnya.
Lalu kemudian berdirilah Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) yang resmi dideklarasikan pada Rabu (27/4/2022). Entah mau kemana organisasi dokter ini, apa hanya sebagai organisasi paguyuban dokter atau memang ingin menjadi "tandingan IDI sebagai organisasi profesi" yang baru dan di inisiasi oleh mantan staf khusus (stafsus) dr Terawan Agus Putranto, yakni dr. Jajang Edi Priyatno.
Celaka bila PDSI ingin menjadi tandingan IDI, organisasi profesi jangan sampai terjadi dualisme, pemerintah harus tegas dan mencegah. Bila pemerintah cq: Presiden Jokowi tidak mencegahnya, maka bisa diduga perpecahan ini memang ada campur tangan atau dimanfaatkan oleh oknum pemerintah dalam memberi ruang gerak mafia farmasi, entahlah???
Seharusnya Dokter Terawan jangan membiarkan atau tidak seharusnya mensupport berdirinya PDSI kalau sebagai organisasi profesi, kecuali hanya paguyuban saja. Sebagai seorang perwira tinggi, Dokter Terwan harus berbesar hati menerima kebijakan atau sanksi dari IDI. Kalaupun merasa benar, silakan gugat IDI.
Pemerintah harus selektif disini, karena bisa berakibat negatif pada dokter sendiri yang dianggap tidak patuh pada organisasinya, yang akibatnya ke masyarakat sebagai pengguna atau pemanfaat dari profesi mereka.
Jelas pula bahwa PDSI ini dipastikan tidak akan sesolid dengan IDI, karena IDI sesungguhnya sepertinya ingin menegakkan kedisiplinan dalam organisasinya terhadap "etika" dari masalah dokter Terawan yang diduga itu menjadi sumber masalah antara IDI dan anggotanya dan wajarlah IDI menegakkan aturan tersebut.Â
IDI patut diapresiasi dan pemerintah cq: Menkes harus dukung IDI karena penegakan kedisiplinan dalam organisasinya, demi menjaga profesionalisme IDI sebagai wadah para dokter yang menjalankan kewajibannya sebagai mitra sejajar pemerintah.