Embrio Darurat Sampah Indonesia
KPB-KPTG inilah menjadi embrio masalah sampah di Indonesia, karena oknum KLHK sendiri yang terus menerus ingin menutup masalah ini dengan terus mengangkat issu baru melalui kampanye ramah lingkungan, melarang sedotan, kampanye penggunaan tumbler, larangan plastik sekali pakai. Semuanya itu bukan ingin mengupas tuntas masalah sampah, tapi justru ingin dipendam saja masalah KPB-KPTG agar terus tenggelam dalam pemberitaan. Tapi senyatanya malah semakin muncul masalah inti itu, ya KPB-KPTG.
Sebenarnya terjadi kekeliruan pihak KLHK, strateginya keliru, karena isu yang selalu diangkat adalah tetap juga pada sampah plastik, khususnya plastik sekali pakai (PSP) tersebut, tetap sinonin dengan inti masalahnya, yaitu kantong plastik kresek pada substansi kebijakan atas KPB-KPTG. Mungkin KLHK sudah merasa serba salah dan terdesak, jadi kebijakannya bersifat tiba masa tiba akal (manajemen of crisis) saja.
Paling parahnya karena penawaran solusi sampah oleh KLHK selama ini juga tidak ada, monoton dan hanya klize sifatnya. Kelihatan KLHK semakin buntu dan mati akal. Juga sekaligus  memperlihatkan sendiri inti masalah. Jadi ahirnya muncul keraguan gerakan untuk menemukan solusi, karena semakin mengeluarkan kebijakan justru tetap akan muncul KPB-KPTG. Jadi maju kena mundur kena, KPB-KPTG seperti benda licin (belut) yang tidak bisa tertangkap oleh tangan-tangan KLHK sendiri. Semakin dipendam semakin muncul masalahnya, nah itu yang terjadi.
Fakta-fakta kebingungan KLHK misalnya muncul revisi PermenLH No. 13 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Sampah 3R melalui Bank Sampah, yang di revisi menjadi Permen LHK No. 14 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Sampah melalui Bank Sampah. Revisi ini semakin merusak dalam tata kelola sampah.Â
Sangat kelihatan KLHK ingin memberi ruang pada Bank Sampah Induk (BSI) sebagai off taker dari Bank Sampah Unit (BSU), sangat keliru dan mis regulasi. Karena BSI bukan lembaga usaha resmi dan tidak bank kable, serta kepemilikannya sama sifatnya dengan BSU yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Artinya BSI dan BSU sama saja pelapak, bukan sebagai wakil pemerintah sebagaimana amanat regulasi atas keberadaannya.
Rencana revisi Permen LH 13 Tahun 2012 ini sebenarnya sejak 2016, Ditjen PSLB KLHK sudah merencanakan dan mendraf revisi tersebut, tapi memang penulis sudah mewanti-wanti pihak PSLB3 KLHK agar jangan melakukan revisi. Namun setelah pergantian Dirjen PSLB3 KLHK dari ibu Tuti ke Ibu Rosa, revisi itu diangkat dan diterbitkan kembali pada tahun 2021. Maka jelas nasib BSU akan semakin kacau-balau dan jauh dari UUPS.
Lebih parah lagi Menteri LHK menerbitkan Permen LHK No. P.75 Tahun 2021 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang akan dijadikan dasar pelaksanaan Extanded Produsen Responsibility (EPR).Â
Permen LHK P.75 ini sangat prematur dan melabrak mandat Pasal 16 UUPS, dimana seharusnya pelaksanaan EPR harus melalui Peraturan Pemerintah (PP). Maka Permen LHK P.75 ini harus dibatalkan demi hukum, artinya permen ini merupakan peta buta tanpa rambu, malah ada istilah baru menyebutnya palang pintu.
Baca Juga:Â Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi