Opini ini ditujukan pada si penanggungjawab atau si penilai kehalalan itu, termasuk perusahaan produk yang akan diberi label halal. Apakah sudah bekerja dengan jujur berintegritas (Baca: Halal) pula sesuai tupoksi para pihak.
Perlu diketahui bahwa perusahaan dan penilai kehalalan (baca: Kepala BPJPH Kemenag) perlu memperhatikan standar operasional prosedur (SOP) penilaian lalu memutuskan sebuah produk dapat dan/atau halal tidaknya dan tanpa konspirasi pada perusahaan pemilik produk didalam pemberian sertifikasi dan logo halal. Sepertinya perlu ada institusi independen antara pemberi dan penerima kebijakan.
"Janganlah kita membahas Logo dan Sertifikasi Halal, tapi kerja dan keputusan jauh dari kehalalan, efeknya akan merugikan orang banyak, apalagi uang sertifikasi dan logo halal janganlah di korupsi."
Baca Juga:Â MUI Tanggapi Perbandingan Tarif Sertifikasi Halal 4 Juta Vs 650 Ribu, Jangan Pakai Kaget!
Polemik Logo Baru Halal
Ahir-ahir ini terjadi polemik tentang logo baru "label halal", sampai memperbandingkan logo halal negara lain yang justru bernuansa Islami dibanding logo halal baru Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam.
Dimana negara-negara yang minoritas Islam malah lebih menampakkan Islamnya. Ya wajar juga protes atau kritisi publik begitu keras.
Sebaiknya Pemerintah cq: Kemenag yang diberi kewenangan, agar ikut mendengar koreksi dan pendapat tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, budayawan dan lainnya yang banyak muncul di media dan warung-warung kopi.
Tangkaplah suara-suara itu, lalu adakan perubahan yang perlu. Jangan alergi menerima koreksi. Karena selama ini, kekurangan elit pejabat adalah menolak koreksi dan saran.
Yakinlah rakyat akan patuh bila pemerintah mengikuti norma yang adil dan bijaksana. Rakyat akan melawan bilamana terjadi penyimpangan oleh pengelola negara.