"Dalam menentukan kokohnya sebuah argumen itu bukan diksi dan referensi, tapi bagaimana cara dalam merangkai argumen. Perlu penggunaan logika dalam optimalisasi pengelolaan sampah, agar para stakeholder bisa menegakkan aturan, bukan seenaknya saja menginjak regulasi sampah" Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) di Indonesia.
Setelah penulis melakukan protes keras terhadap kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) diawal pelaksanaannya (2/2016) yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen PSLB3 KLHK. Resistensi negatif dari elit KLHK dan partnernya mulai nampak pro-kontra bila datangnya solusi dari penulis.Â
Kenapa mesti menolak kebijakan tersebut, ya memang harus di ditolak karena sarat pelanggaran administrasi dan terjadi pungutan liar yang sampai sekarang KLHK tetap membiarkannya pungutan itu oleh Toko Ritel dengan alasan solusi sampah plastik, lucu dan bertolak belakang karena melarang plastik tapi juga menjual kantong plastik. Kebijakan yang abuse of power atau salahgunakan kekuasaan.Â
Bahkan resistensi itu melebar ke lintas kementerian dan lembaga (K/L) dan sangat aneh karena berkepanjangan sampai sekarang (2022). Artinya apapun solusi itu semua diterima asal bukan dari penulis. Lha mengurus bangsa dan negara pakai pikiran picik dan sentimental, tanpa rasa dan logika lagi. Memangnya bangsa ini mau dibawa kemana, berkomunitas atau membangun kelompok untuk melakukan kecurangan demi kepentingan sesaat saja diantara mereka.
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Pada awal kebijakan KPB-KPTG yang penulis kritisi dengan keras, di tahun yang sama pula (2016), malah Menteri LHK Dr. Siti Nutbaya Bakar menambah amunisinya lagi untuk menghadang penulis dengan cara membentuk Dewan Pengarah Sampah Nasional, dengan merekrut hampir semua asosiasi, LSM lingkingan, akademisi, TNI juga dimasukkan, lintas menteri dan lainnya serta menunjuk Nabiel Makarim (Mantan Menteri Negara LH) sebagai Ketua Dewan Pengarah Sampah Nasional tersebut. Tapi mungkin karena targetnya keliru, maka dewan tersebut mati suri juga, percuma juga karena tidak menyurutkan nyali penulis untuk menggugat seluruh kekeliruan yang diperbuat stakeholder sampah, khususnya KLHK sebagai leading sector sampah nasional.
Kalau satu, dua atau tiga kali menghadang sebuah kebenaran tapi tetap gagal, kenapa seh tidak introspeksi diri dan mencari data dalam menemukan celah cerdas untuk masuk pada jalur kebenaran tersebut.Â
Pendidikan dan pengalaman yes, sumber daya segalanya yes dan lalu kenapa tidak menggunakan logika berpikir dan bertindak agar dapat melaksanakan tupoksinya masing-masing sesuai bingkai tanggungjawab yang diemban, hidup ini harus berlogika. Jangan jadi manusia bila abaikan logika.Â
Penulis merasa punya otoritas (klaim kewajiban) menyampaikan permasalahan atas kekeliruan banyak pihak dalam tata kelola sampah yang tidak mengindahkan regulasi sampah di Indonesia.Â