"Pelarangan kantong plastik atau plastik sekali pakai itu hanya sebagai tirai kebobrokan dari kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau kemudian berganti nama menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG)" Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Indonesia.
Perpindahan nama dari KPB ke KPTG sekitar bulan Oktober 2016 itu hanya sekedar basa-basi saja untuk mengalihkan perhatian agar tidak terkesan kantong plastik kresek di Toko Ritel Modern itu agar tidak "terkesan" berbayar saja.
Semua ini merupakan akal-akalan saja oleh oknum-oknum di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan para partnernya yang diduga terlibat gratifikasi atau korupsi dalam pelaksanaan kebijakan KPB-KPTG.
Tidak bisa dipungkiri bahwa nampak terjadi keterdesakan ruang dan waktu akan sorotan terhadap KPB, maka pemilihan prasa kalimat Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) menjadi ikut keliru karena sama saja maksudnya KPB adalah menjual kantong plastik kresek di Toko Ritel seluruh Indonesia.
Baca Juga:Â Halusinasi Pelarangan Kantong Plastik dan Plastik Sekali Pakai (1)
KLHK dalam program KPB-KPTG tersebut juga tidak bekerja sendiri dan mendapat bantuan atau dukungan dari pihak-pihak luar. Sebut misalnya yang membantu dalam program itu antara lain datang dari komunitas Gerakan Diet Kantong Plastik (GIDKP), Indonesia Solid Waste Association (InSwa) dan lain sebagainya.
Pada tahap awal eksekusi KPB-KPTG ini, memang penulis dalam pantauan di lapangan banyak yang mendukung program yang sangat keliru itu, hampir semua komunitas skala nasional, LSM di Jabodetabek dan luar Jawa turut ambil peran untuk mensukseskan KPB-KPTG tersebut, bahkan banyak NGO asing yang ikut membantu pergerakan KPB-KPTG.
Namun ahirnya, tahun demi tahun berjalan sejak 2016 sampai sekarang 2022, umumnya mereka-mereka sepertinya memang hanya berhalusinasi dalam memberi dukungannya, buktinya hampir semua pada mundur pelan-pelan atau mundur teratur. Mungkin sudah sadar dan terutama mungkin kehabisan logistik. Sementara penulis masih saja bertahan memaantau dan mengawal progres KPB-KPTG.
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Spekulasi Pengalihan Prasa Kalimat
Hal itu hanya lebih pada maksud tertentu untuk pengalihan literasi atau prasa kalimat tanpa ada perubahan makna dan pola penanganan kebijakan di Toko-Toko ritel dan toko modern di seluruh Indonesia, bahwa kantong plastik itu tetap berbayar atau tidak gratis.Â
Oknum KLHK hanya akal-akalan saja untuk membohongi masyarakat (baca: konsumen). Penulis banyak kali menulis dan mengangkat masalah ini di media cetak dan online termasuk di medsos tanpa ada bantahan tertulis dari oknum yang diduga terlibat, harusnya bantah juga secara tertulis bila merasa benar.
Pertanyaannya, kenapa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak bersuara untuk membela konsumen pada masalah penjualan kantong plastik ini pada konsumen, dimana posisi mereka pada saat itu sangat strategis menolak kebijakan ini.
Sebenarnya pihak BPKN dan YLKI pada saat sebelum muncul Surat Edaran ke-2 KPB di Bulan Februari 2016 mutlak menolak, apabila KLHK tidak memperhatikan Surat Edaran ke-1 KPB di Bulan Desember 2015 dengan keharusan pelibatan Gubernur, Bupati/Walikota serta lintas menteri dan DPR-RI sebelum melakukan eksekusi KPB atau mulai menjual kantong plastik kresek pada tanggal 21 Februari 2016.
Baca Juga:Â Menteri LHK Tidak Mampu Urus Sampah?
Jadi keterlibatan bupati dan walikota sebagaimana substansi SE Â ke-1 KPB sangat penting mendengar suara dari pemerintah daerah (pemda). Apalagi Kantong plastik kresek itu sebagai wadah belanjaan yang menjadi kewajiban penjual sebagai fungsi service atau memberi pelayanan pada konsumen setelah membeli barang/produknya (Pasal 612 KUPerdata dan beberapa pasal lainnya). Lagi pula infrastruktur pelaksana kebijakan KPB-KPTG itu di daerah belum siap untuk melaksanakannya.
Apakah karena BPKN dan YLKI ada di dalam Surat Edaran KPB-KPTG tersebut, sehingga merasa serba salah? Tapi seharusnya BPKN harusnya tegas menolak sebagai lembaga yang ada di bawah Kementerian Perdagangan, semestinya membela masyarakat konsumen, bila memang YLKI memilih diam. Ataukah sama saja BPKN dan YLKI merasa bersalah juga sehingga memilih diam terhadap KPB-KPTG sampai sekarang. Namun pada dasarnya BPKN dan YLKI jangan diam donk. Harusnya bela konsumen sebagaimana eksistensi lembaganya.
Maka penulis dalam pantauan sejak 2016 sampai 2022 saat ini, seharusnya Menteri LHK melalui Dirjen PSLB3 KLHK melakukan evaluasi atas kebijakan KPB -KPTG tersebut, bila perlu buat keputusan untuk menyetop kebijakan KPB-KPTG dan cabut SE KPB-KPTG yang telah dikeluarkannya itu.
Jangan dibiarkan begitu saja berjalan memungut uang rakyat tanpa bertuan, ini ke depan akan memakan korban lebih besar bila aparat penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polisi dan Jaksa masuk ke dalam masalah ini melakukan investigasi atau langsung mengadakan penyelidikan dan penyidikan (lidik) atas dugaan terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang.
Baca Juga:Â Gubernur Jakarta dan Bali Keliru Sikapi Sampah Plastik
Masalah pelarangan penggunaan plastik sekali pakai yang ada dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang didorong oleh KLHK, sesungguhnya sangat keliru besar. Karena plastik sekali pakai ini bukan hanya kantong plastik kresek, tapi hampir semua kemasan tergolong atau masuk kategori plastik sekali pakai yang dilarang penerintah dan beberapa pemda di Indonesia.
Penulis dalam kapasitas sebagai Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) di Indonesia, meminta kepada Menko Marves, Menteri LHK, Gubernur Bali dan Jakarta serta beberapa Walikota di Indonesia yang telah mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai tersebut agar menghentikan kebijakannya dan juga kepada BPKN dan YLKI agar turun membela semua pihak, yaitu produsen dan konsumen kantong plastik kresek serta PSP. Jangan biarkan suasana ini mencederai diri sendiri sebagai rakyat dan bangsa yang ber Pancasila.
Baca Juga:Â Gubernur Jakarta dan Bali Keliru Sikapi Sampah Plastik
Kenapa penulis meminta para perancang dan pendukung strategi "pembohongan publik" untuk stop kampanye atas pelarangan penggunaan plastik sekali pakai, karena masalah sampah bukan pada lamanya plastik terurai maka dikatakan itu merusak bumi. Masalahnya bukan disana, tapi masalah sampah di Indonesia terjadi pada kelemahan integritas stakeholder sebagai bangsa yang berdaulat.
Bukan masalahnya pada plastik (baca: plastik lama terurai) sehingga terjadi darurat sampah di Indonesia. Tapi masalahnya pada human error, oknum penguasa dan pengusaha diduga sepakat (secara tersirat) untuk tidak taat pada regulasi persampahan yaitu UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Selain daripada mengingkari UUPS, juga sesungguhnya masalah limbah plastik bukan semata hal tersebut, tapi sebenarnya limbah cair dari limbah kertas dan limbah minyak yang banyak merusak sungai dan laut Indonesia dan dunia.
Baca Juga:Â Menteri LHK Tidak Mampu Urus Sampah?
Perang Bisnis antara Kertas vs Plastik
Limbah cair kertas ini seakan diabaikan oleh pemerintah dan pemda. Coba lakukan deteksi di wilayah Jabodetabek saja sungguh memprihatinkan, limbah cair dari industri-industri kertas dan industri-industri lainnya justru itu yang mencemari bumi. Penulis sendiri banyak menemukan aliran limbah cair dari industri langsung dialirkan ke sungai, tentu pada ahirnya masuk ke lautan bebas.
Pernakah kita pikirkan dan melakukan klarifikasi, investigasi dan bila perlu diadakan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat hukum tentang limbah cair dari industri-industri yang banyak bertebaran diluar daripada kawasan industri. Apakah industri-industri yang ada di seluruh Indonesia memiliki instalasi pengolahan air limbah?
Semua jenis limbah itu jauh dari pantauan, hanya semata menyorot plastik sebagai pencemar di bumi ini, inilah langkah-langkah yang tidak beres dan harus ditinggalkan. Mari berhenti berhalusinasi, kembali ke jalan yang benar.
Setop habisi uang rakyat, hanya karena melakukan pertemuan-pertemuan yang membahas masalah sampah secara berulang. Karena masalah sampah Indonesia sebenarnya ada pada KPB-KPTG, lalu dimanfaatkan oleh para prngusaha untuk saling serang atau perang bisnis antara kertas dan plastik, juga pada plastik konvensional dan plastik ramah lingkungan.
Baca Juga:Â Pengamat: Larangan Pemakaian Produk Plastik Kebijakan Keliru Pemerintah
Pesan Kepada Menko Marves dan Deputinya
Termasuk pesan khusus kepada Kementerian Kordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) serta para deputinya, lakukan urusan atau hal makro sesuai tupoksi Anda dan bukan membahas masalah teknis dalam parsampahan ini. Kalau memang Anda tidak paham soal sampah, jangan tanbah perburuk suasana, penulis paham kapasistas SDM di dalam tanggubgjawab pekerjaan Anda. Jangan alergi pada kritik, karena disana ada solusi.
Lakukan harmonisasi antar kementerian dan lembaga, agar terjadi visi yang sama dalam melaksanakan pengelolaan sampah berbasis regulasi. Itulah peran Menko Marves sebagai Kordinator Nasional Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Untuk kesekian kalinya, penulis selaku Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) meminta kepada Presiden Joko Widodo melalui Pak Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Marves, agar merevisi Jaktranas Sampah dan memasukkan Menteri Pertanian yang tidak masuk dalam Jaktranas Sampah.
Menteri Pertanian sangatlah penting karena merupakan pemakai terbesar dari olahan sampah organik berupa pupuk organik untuk mendukung pertanian organik Indonesia, sekaligus mengembangan 2000 desa organik, sebagaimana Janji Presiden Joko Widodo pada Nawacita 1 dan 2.
Jakarta, 15 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H