Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Label Halal Harus Melalui Peraturan Pemerintah Bukan SK BPJPH

13 Maret 2022   15:36 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:57 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keputusan label halal yang baru ini seharusnya bukan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), tapi melalui Keputusan Presiden (Kepres) atau Peraturan Presiden (Perpres), lebih tepatnya adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aplikasi UU. No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK), karena ada efek 'uang besar' di dalam keputusan tersebut." Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Indonesia.

Presiden Joko Widodo telah menjawab lagi kerisauan masyarakat terhadap pemberian "Label Halal" oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada produk makanan/minuman serta produk lainnya. Banyak yang mempertanyakan, siapa seh yang mengelola dana atas biaya yang masuk dari pembayaran oleh perusahaan pemilik produk. Siapa yang simpan dan diapakan dana pelabelan itu selama ini?.

Masalah pelebelan "halal" yang dikeluarkan  oleh MUI menjadi pertanyaan banyak pihak bahwa kenapa MUI sebagai organisasi massa yang diberi kewenangan berada pada level terdepan atau yang menonjol. Secara depakto dan dejure, MUI adalah wakil pemerintah dalam pelabelan tersebut, berarti pemerintah dianggap memahami masalah "internal" bila ada pemasukan dana disana.

Kenapa sepertinya pemerintah melepaskan masalah yang maha penting ini pada ormas, MUI itu sebuah ormas lho. Sebuah kekeliruan yang amat besar selama ini sebenarnya, dana-dana yang masuk terhadap kebijakan pelabelan ini susah dipertanggung jawabkan dan berpotensi disalahgunakan oleh oknum yang ingin bermain ditengah masalah pengambilan sertifikat label halal, karena sangat erat kaitannya dengan pemasaran dari produk perusahaan. 

Produk tidak bisa laku terjual dipasar tanpa label, label ini menjadi daya tarik pemasaran atau bisnis. Berarti ada kesempatan terbuka untuk bermain di dalam sistem tata kelola pelabelan antar pihak dalam satu rantai bisnis dan kebijakan.

Baca Juga: Label Halal Baru Berlaku Nasional, Label Halal yang Diterbitkan MUI Bertahap Tak Lagi Berlaku

Padahal memang sejak 2014 itu sudah ada amanat undang-undang sebelum UUCK untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, harusnya memang MUI atau lembaga agama lainnya harus ada dalam institusi tersebut. 

Tapi bukan MUI yang keluarkan keputusan ke eksternal perusahaan pemilik produk, namun hanya dalam internal saja sebagai lembaga agama yang ada dalam sistem di BPJPH di Kementerian Agama. Jadi bukan BPKPH yang meminta MUI, tapi BPJPH menarik MUI kedalam sistem.

Jadi bukan menonjolkan MUI pada Label Halal tersebut sebagai institusi terdepan yang memasang logo itu, harusnya memang BPJPH dibawah pemerintah cq: Kementerian Agama yang mengeluarkan logo halal pada produk. 

Memang harus ada wakil unsur agama dimasukkan dalam kelembagaan tersebut, seperti MUI atau lembaga lainnya yang dianggap kompeten dan bersyarat. Makanya BPJPH itu berada di Kementerian Agama, itu logikanya.

"Idealnya BPJPH bukan dibawah langsung Kementerian Agama, tapi berdiri sendiri sebagai institusi independen, dimana didalamnya terdapat stakeholder lintas lembaga atau kementerian terkait yang kompeten demi memudahkan perusahaan mengurus sertifikat label halal produknya." Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo).

Kemana Dana Label Halal

Bagaimana pengaturan dana yang diperoleh dari usaha pelabelan tersebut, adakah semacam bentuk pembagian antara MUI dan pemerintah dan seterusnya tentang hak dan kewajiban yang melekat disana selama ini. Ini sebuah pertanyaan besar yang tidak serta merta bisa dilupakan setelah keluar ketentuan baru atas pelabelan oleh BPJPH.

Pemerintah telah mengeluarkan aturan baru bahwa label halal tidak lagi dimiliki oleh MUI, tapi kewenangan itu beralih sepenuhnya kepada BPJPH Kementerian Agama. 

Label halal MUI nantinya secara bertahap tidak berlaku lagi di Indonesia. Sebagaimana selama ini dikuasai oleh MUI dan akan diganti logo baru (lihat foto ilustrasi diatas). BPJPH Kemenag RI telah menetapkan bahwa label halal Indonesia berlaku secara nasional per 1 Maret 2022. Baca berita di Menag Yaqut: Label Halal MUI Tidak Berlaku Lagi

Baca Juga: Menag Terbitkan Sertifikat Halal untuk Vaksin Merah Putih Unair

Hal "Label Halal" itu telah didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Kepala BPJPH No. 40 Tahun 2022 yang ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022. Sebenarnya sudah lama harus diberlakukan seperti ini aturannya. Karena penetapan label tersebut merupakan amanat Pasal 37 Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Maka BPJPH menetapkan label halal dalam bentuk logo sebagaimana yang secara resmi dicantumkan dalam Keputusan Kepala BPJPH. Jadi bukan hanya pemberian label halal pada makanan dan minuman saja.

Sangat perlu diperluas label halal itu, bisa jadi berupa produk kosmetik, obat, barang gunaan, produk kimiawi, produk biologi dan produk rekayasa genetik, juga jasa lainnya seperti pada pengomposan sampah organik menjadi kompos ber SNI Kompos Organik untuk mengatur penggunaan kotoran hewan (Kohe), ini perlu ditinjau kembali oleh BPJPH.

Sebenarnya ini bukan masalah baru namun memang masih banyak yang memahami bahwa sertifikat halal di Indonesia dikeluarkan oleh MUI, tapi fakta sejak 17 Oktober 2019 sesuai amanat Undang-undang Jaminan Produk Halal, sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH, tapi sepertinya atau diduga dalam perjalanannya masih ada tumpang tindih antara BPJPH dan MUI.

Baca Juga: Kemenag RI Tetapkan Logo Halal Baru, ini Filosofinya

Kesimpulan penulis bahwa agar lebih tertata rapi dalam pemberian "label halal" ini, seharusnya keputusan pelabelan yang baru ini bukan melalui Surat Keputusan Kepala BPJPH tapi wajib melalui Keputusan Presiden atau Peraturan Preseiden atau lebih tepatnya keputusan pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah karena ada uang besar didalam keputusan tersebut. 

Bukan lagi berdasar UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, tapi harus berdasarkan pada UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK). Dimana UUCK tidak hanya memuat soal ketenagakerjaan, tapi juga mengatur perihal sertifikasi halal suatu produk sampai pada pengelolaan limbah.

Ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Lantas, apa saja perbedaannya? antara lain seperti persyaratan auditor halal, selanjutnya silakan baca kompas di Ketentuan Sertifikat Halal untuk Produk di UU Cipta Kerja atau di Kemenag: UU Cipta Kerja Atur Ketentuan Auditor Halal Harus WNI dan Muslim.

Paling penting ke depan bahwa BPJPH Kemenag RI, perlu melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi Jaminan Produk Halal ini secara masif di masyarakat dan dunia usaha.

Jakarta, 12 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun