Baca Juga:Â KPK Harus Tegas Sikapi Pembangunan Listrik Sampah
Kenapa penulis sebut Perpres 35/2018 PSEL reinkarnasi dari Perpres 18/2016 PLTSa ? Karena Perpres 18/2016 PLTSa telah dicabut oleh Mahkamah Agung atas gugatan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2016, penulis menjadi salah satu diantara 15 orang yang ikut menggugat Perpres PLTSa tersebut. (Baca: MA Batalkan Perpres Pembangkit Listrik Berbasis Sampah).
Pada prinsipnya PLTSa dan PSEL itu sama saja substansinya. Hanya yang sedikit berbeda pada penekanan makna bersahabat bumi dengan memakai prasa kalimat "Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan" pada Perpres 35/2018 PSEL. Karena mungkin dulu Perpres 18/2016 PLTSa dianggap tidak ramah lingkungan sehingga digugat, lalu pada Perpres 35/2018 PSEL dibumbui "ramah lingkungan".
Artinya sama saja, baik PLTSa atau PSEL itu tetap melanggar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah dan keberadaan Perpres 18/2016, karena pengelolaan cara sentralisasi (TPA gaya baru), disamping juga menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Juga terkait prasa kata "percepatan" dalam Perpres 18/2016 yang juga sama pada Perpres 35/2018 PSEL Â merupakan penyalahgunaan kewenangan Presiden dan para Kepala Daerah yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Celah yang sangat berpotensi merugikan negara yaitu bilamana dipaksakan pembayaran tiping fee, karena pemda yang diminta angkut sampah ke lokasi PLTSa atau PSEL juga diminta bayar pada pihak investor yang mengoperasikan mesin instalasi listrik tersebut. Lagi pula listriknya bukan pemda yang menjual ke PLN, itupun PLN pasti tidak mampu beli karena listrik sampah ini justru mahal.
Baca Juga:Â Pro Kontra PLTSa dalam Penanganan Sampah di Indonesia
PLTSa=PSEL Muncul Lagi?
Bukan pertama acara penadatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) antara Kota Palembang dan Kota Tangerang, yang berlangsung pada hari Rabu (09-03-2022), Sila baca Kemenko Marves Fasilitasi Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pengolah Sampah PSEL
Tapi MoU atau PKS antara pemerintah daerah dengan investornya (dalam/luar negeri) yang didorong oleh pemerintah pusat jauh sebelumnya sudah sering terlaksana sampai pada pembangunannya, sebut misalnya pada PLTSa Sunter Jakarta Utara (batal dan perhatikan foto ilustrasi di atas), PLTSa Merah Putih  di TPA Bantargebang Bekasi diresmikan Menkomarivest Luhut Binsar Panjaitan, PLTSa-PSEL TPA Benowo Surabaya yang diresmikan Presiden Jokowi, PLTSa-PSEL Putri Cempo Surakarta Solo, PLTSa-PSEL Burangkeng Bekasi. Begitu juga RDF Cilacap Jawa Tengah dipastikan disana bermasalah. Karena semua pola pengelolaan sentralisasi yang melanggar UUPS atau TPA gaya baru yang sering penulis menjuluki PLTSa atau PSEL tersebut.
Tapi apa semua dihasilkan oleh PLTSa atau PSEL itu? Adakah PLN terlibat sebagai pembeli/pemakai listrik sampah itu? Mampukah pemda bayar tiping fee yang begitu besar (sampai dengan Rp. 500.000/ton sampah), sebagaimana yang tertuang dalam Perpres 35/2018 PSEL itu? Mampukah PLTSa atau PSEL itu mengolah sampah Indonesia dengan karakteristik sampah 60 % sampah yang memiliki unsur basah yang cukup tinggi, (tanpa harus dikeringkan atau diendapkan dulu minimal 3 hari). Lagi pula nilai kalorinya sangat rendah, tidak lebih dari 2.500 K.Cal/kg.