Baca Juga:Â Menjadi Pembeda dalam Membangun Tata Kelola Sampah Indonesia
Terjadi jurang pemisah atau celah (GAP) yang tentu bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, baik dalam asosiasi, perusahaan yang bekerja dalam rantai organisasi serta oknum pejabat dari pemerintah pusat dan daerah.
Sesuai pantauan penulis, baik selaku pengamat regulasi maupun dalam mengawal tata kelola sampah di Indonesia. Sangat menduga keras, bahwa oknum pengurus asosiasi dan pemerintah serta anggota-anggota asosiasi, belum memahami posisinya sebagai apa dan mau kemana dirinya bersama perahu asosiasinya. Celakalah bila dugaan ini benar adanya!!!
Pada kesempatan yang terbuka atau pembiaran inilah, maka terjadi progres kepengurusan oleh asosiasi yang bukan pada tempatnya, artinya mengambil alih porsi asosiasi lain ahirnya tujuan asosiasi menjadi saling tumpang tindih yang tidak lagi diketahui mau kemana arahnya.
Seharusnya semua ini dirapikan, khususnya oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia harus adaptif membaca situasi dan kondisi asosiasi yang tumpang tindih. Jangan biarkan asosiasi demikian ini tumbuh berkembang yang hanya akan merusak sistem ekonomi, budaya, hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Dimana ujungnya bisa menciptakan komplik horizontal diantara stakeholder persampahan.
Baca Juga:Â Pengamat: Larangan Pemakaian Produk Plastik Kebijakan Keliru Pemerintah
Ada juga asosiasi masuk ke wilayah binaan asosiasi lain, termasuk menarik anggota yang seharusnya bukan anggotanya. Jelas asosiasi ini hanya ingin memanfaatkan dana-dana CSR pada anggota asosiasi lainnya, sementara mengabaikan anggotanya sendiri.Â
Ada juga perusahan industri produk masuk ke asosiasi industri daur ulang. Padahal bisa saja antar kelompok industri berhubungan "program" tanpa harus masuk dalam satu asosiasi yang sama. Itulah perlunya ada harmonisasi antar asosiasi. Semua ini tidak terjadi dalam tata kelola sampah di Indonesia, semua mau tampil di depan. Ahirnya tidak ada program yang terukur dan sustain.
Malah ada perusahaan multy nasional mengaku pada penulis bahwa yang mereka gunakan membina bank sampah dan/atau pelapak dan lainnya itu adalah dana Extanded Producer Responsibility (EPR), bisa jadi ada juga dana promosi (iklan) perusahaan untuk dijadikan bancakan korupsi, ahirnya dana-dana CSR, EPR dan Promosi  disalahgunakan.
Dalam pantauan penulis terhadap kinerja perusahaan yang dikawal oleh asosiasi untuk menjalankan program pengelolaan sampah berbasis CSR/EPR, hampir pasti belum ada asosiasi yang punya program berkesesuaian dengan regulasi persampahan. Semua berorientasi pada bisnis kepentingannya sendiri oleh oknum asosiasi.Â
Akhirnya perusahaan CSR/EPR tentu ikut dirugikan karena programnya jauh dari regulasi sampah dan tidak sustainable. Program abal-abal yang tentu akan diahiri dengan mangkraknya sarana dan prasarana atau pemanfaat bantuan tersebut bukan pada penerima sesuai regulasi yang berlaku. Semua ini bisa saja terjadi sebuah temuan pelanggaran hukum dikemudian hari.