Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Quo Vadis Asosiasi Sampah di Indonesia

10 Maret 2022   13:01 Diperbarui: 10 Maret 2022   13:53 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mau kemana arah asosiasi bidang persampahan di Indonesia. DokPri #GiF

"Diduga keras bahwa kehadiran asosiasi pada ranah sampah hanya sebagai tameng belaka, bukan sebagai mitra sejajar pemerintah dan pengayom anggotanya, mereka tidak inginkan masalah sampah ini selesai, hanya sekedar mencari peluang-peluang ekonomi di tengah karut marut permasalahan sampah" Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.

Pengurus asosiasi agar profesional dalam urusan persampahan, jangan urus seadanya saja tanpa SDM mumpuni. Karena pasti akan salah arah, terkesan pengurus asosiasi tidak paham organisasi. Rizikonya berat bila salah urus, dimana asosiasi itu membawahi perusahaan dan ada manusia didalamnya, karena akan berdampak buruk pada masyarakat secara umum sebagai produsen sampah dan kepada perusahaan produsen produk dan industri daur ulang.

Banyak sekali tumbuh subur sejak 2015 perkumpulan atau asosiasi dalam urusan sampah yang menghimpun orang ataupun perusahaan di Indonesia. Namun senyatanya belum ada yang bergerak ke arah regulasi sampah serta menaati regulasi pendukung lainnya. Semuanya kelihatan konvensional dari masa ke masa. Hanya lalu-lalang membangun komunitas dan peradaban yang keliru, bukan malah ingin membangun solusi dengan menciptakan sistem yang benar.

Andaikata asosiasi-asosiasi di ranah persampahan menempatkan posisinya sebagai mitra sejajar pemerintah dan pengayom anggotanya alias menempatkan kepentingannya secara proporsional sesuai eksistensinya sebagai pengusaha dan pengurus organisasi atau asosiasi, maka "sandiwara" pengelolaan sampah itu sangat apik dan bisa menyelamatkan Indonesia dari darurat "sosial dan ekonomi" dari sektor sampah. Tetap bisa sukses dalam bisnisnya dan sekaligus mampu memanage organisasinya dengan benar sambil menunjukkan atau membangun program yang terukur, massif dan sustainable.

Baca Juga: Industri Plastik dan Bank Sampah dalam Jangkauan Asosiasi dan Pemerintah

Tapi sayang, keberadaannya seperti hanya simbol alias topeng belaka yang terkesan "dimanfaatkan dan/atau memanfaatkan" dari/dan oleh oknum-oknum pengurus di asosiasi, perusahaan dan bahkan dimanfaatkan oleh oknum pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam menciptakan program-program insidentil tanpa berbasis masyarakat. Mereka menyebut programnya ber circular ekonomi, padahal itu hanya lipstik saja. Karena sesungguhnya mereka salah dalam mengaplikasi circular ekonomi yang berbasis regulasi sampah.

"Tidak ada terjadi circular ekonomi tanpa pelaksanaan Pasal 21 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah" Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Indonesia.

Diduga keras banyak perusahaan pemilik Corporate Social Responsibility (CSR) mengakali dana CSRnya melalui pengaturan seremoni atau formalitas, mereka kongkalikong dengan asosiasi partnernya. Sehingga CSR dari perusahaan yang bersangkutan jelas akan salah alamat pada penerima manfaatnya, bahkan ada perusahaan menyalurkan dana CSRnya pada pemerintah dan tidak ke masyarakat, ini keliru besar dan harus segera dihentikan praktek-praktek buruk oleh oknum asosiasi, perusahaan seperti ini. Karena sangat berpotensi dijadikan bancakan korupsi saja oleh semua stakeholder.

Kalau kondisi karut-marut asosiasi ini dibiarkan seenaknya mengatur sendiri apa keinginan sang "elit" pengurus (diduga malah ada asosiasi memanfaatkan oknum pejabat atau mantan pejabat) demi pendekatan pada sumber CSR dan pemerintah, maka semua ini akan terjadi bencana "pembohongan" publik sekaligus terjadi "perampokan" dana-dana CSR dari perusahaan kepada masyarakat secara berkepanjangan terus dipermainkan (pemantauan sejak 2013-2022). 

Apakah karena dugaan gratifikasi atau korupsi Kantong Plastik Berbayar (KPB) yang belum disentuh oleh aparat penegak hukum, sehingga itu yang dijadikan potret oleh para oknum asosiasi, perusahaan dan pemerintah berani mempermainkan dana-dana CSR/EPR?

Baca Juga: Menjadi Pembeda dalam Membangun Tata Kelola Sampah Indonesia

Terjadi jurang pemisah atau celah (GAP) yang tentu bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, baik dalam asosiasi, perusahaan yang bekerja dalam rantai organisasi serta oknum pejabat dari pemerintah pusat dan daerah.

Sesuai pantauan penulis, baik selaku pengamat regulasi maupun dalam mengawal tata kelola sampah di Indonesia. Sangat menduga keras, bahwa oknum pengurus asosiasi dan pemerintah serta anggota-anggota asosiasi, belum memahami posisinya sebagai apa dan mau kemana dirinya bersama perahu asosiasinya. Celakalah bila dugaan ini benar adanya!!!

Pada kesempatan yang terbuka atau pembiaran inilah, maka terjadi progres kepengurusan oleh asosiasi yang bukan pada tempatnya, artinya mengambil alih porsi asosiasi lain ahirnya tujuan asosiasi menjadi saling tumpang tindih yang tidak lagi diketahui mau kemana arahnya.

Seharusnya semua ini dirapikan, khususnya oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia harus adaptif membaca situasi dan kondisi asosiasi yang tumpang tindih. Jangan biarkan asosiasi demikian ini tumbuh berkembang yang hanya akan merusak sistem ekonomi, budaya, hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Dimana ujungnya bisa menciptakan komplik horizontal diantara stakeholder persampahan.

Baca Juga: Pengamat: Larangan Pemakaian Produk Plastik Kebijakan Keliru Pemerintah

Ada juga asosiasi masuk ke wilayah binaan asosiasi lain, termasuk menarik anggota yang seharusnya bukan anggotanya. Jelas asosiasi ini hanya ingin memanfaatkan dana-dana CSR pada anggota asosiasi lainnya, sementara mengabaikan anggotanya sendiri. 

Ada juga perusahan industri produk masuk ke asosiasi industri daur ulang. Padahal bisa saja antar kelompok industri berhubungan "program" tanpa harus masuk dalam satu asosiasi yang sama. Itulah perlunya ada harmonisasi antar asosiasi. Semua ini tidak terjadi dalam tata kelola sampah di Indonesia, semua mau tampil di depan. Ahirnya tidak ada program yang terukur dan sustain.

Malah ada perusahaan multy nasional mengaku pada penulis bahwa yang mereka gunakan membina bank sampah dan/atau pelapak dan lainnya itu adalah dana Extanded Producer Responsibility (EPR), bisa jadi ada juga dana promosi (iklan) perusahaan untuk dijadikan bancakan korupsi, ahirnya dana-dana CSR, EPR dan Promosi  disalahgunakan.

Dalam pantauan penulis terhadap kinerja perusahaan yang dikawal oleh asosiasi untuk menjalankan program pengelolaan sampah berbasis CSR/EPR, hampir pasti belum ada asosiasi yang punya program berkesesuaian dengan regulasi persampahan. Semua berorientasi pada bisnis kepentingannya sendiri oleh oknum asosiasi. 

Akhirnya perusahaan CSR/EPR tentu ikut dirugikan karena programnya jauh dari regulasi sampah dan tidak sustainable. Program abal-abal yang tentu akan diahiri dengan mangkraknya sarana dan prasarana atau pemanfaat bantuan tersebut bukan pada penerima sesuai regulasi yang berlaku. Semua ini bisa saja terjadi sebuah temuan pelanggaran hukum dikemudian hari.

Apakabar Kadin Indonesia? Anda perlu turun ke bawah (turba), selain merapikan para asosiasi yang hanya didirikan berdasar emosional "memenuhi ambisi bisnis dan keserakahan pribadi atau kelompok" non profesional, juga para pengurus asosiasi perlu dibekali TOT AMT untuk produktifitas, juga sangat penting diberi ilmu organisasi asosiasi dan entrepreneurship kepada stakeholder, agar memahami dan cerdas berasosiasi kepada mereka yang menyebut dirinya pengurus asosiasi dan juga kepada pejabat pemerintahan yang belum memahami hubungannya dengan asosiasi secara profesional.    
 
Jakarta, 10 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun