"Berusaha menegakkan ekonomi konstitusi UUD'45 agar Indonesia mempunyai harkat dan martabat. Hanya dengan menegakkan ekonomi konstitusi kekayaan bangsa ini bisa tergali dan terjaga." Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah Indonesia (PKPS).
Perang sekarang ini sudah bergeser ke perang non fisik yang bukan seperti dulu lagi secara fisik, jadi sekarang sudah masuk perang asimetris termasuk proxy war dan suasana tersebut tidak terkecuali berdampak pada urusan tata kelola sampah, khususnya dalam menegakkan regulasi persampahan.
Sebuah konfrontasi antardua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan mengurangi risiko konflik langsung yang berpotensi atau bisa berisiko pada kehancuran fatal disemua lini yang berkaitan dengan industri yang produknya berahir menjadi sampah.
Baca Juga:Â Apa Kabar Usia 12 Tahun UU Sampah?
Dalam era milenial dimana peradaban semakin mengglobal atau menyatu dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Satu sisi menunjukkan perkembangan yang positif dan dalam sisi lain tentu dibuntuti oleh efek negatif bila tidak mampu mengendalikannya.
Indonesia dan bahkan dunia semakin berada pada titik kritis bila kekuatan SDM tidak diimbangi dengan kekuatan atau kepekaan emosional dan spiritual yang mumpuni. SDM bangsa ini sangat rapuh dan mudah dininabobokkan oleh "pancingan" materi duniawi sesaat.
Sesungguhnya era globalisasi merupakan era kerja sama atau kemitraan. Artinya kemitraan sangat dituntut dalam melakukan elaborasi dalam segala urusan dan masalah yang timbul. Disana Ada tarik menarik kepentingan yang bisa saja saling mengganggu, bila pelaku atau lakon pentasnya tidak mampu mengikuti arah yang berkesesuaian dengan aturan positif kenegaraan, bangsa, adat, budaya, ekonomi dan agama serta stabilitas secara umum.
Baca Juga:Â Setop Sesat Pikir Memahami EPR Pengelolaan Sampah
Indonesia sepertinya sudah dihadapkan dalam perang asimetris, atau perang perusakan kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta politik yang tidak lagi (perang) menggunakan senjata fisik, melainkan dengan strategi yang di luar kewajaran. Kondisi tersebut sudah terjadi dalam karut-marut menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.
Terkhusus dalam urusan penegakan regulasi pengelolaan sampah di Indonesia, sepertinya diperhadapkan pada perang asimetris tersebut. Terjadi pembiaran dan pembenaran massif yang sudah melanggar aturan yang telah ditetapkan pemerintah sendiri.
Kenapa demikian? Fakta membuktikan bahwa begitu susahnya para elit pemangku kepentingan, baik itu dari unsur pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) maupun dari pengusaha, perguruan tinggi ataupun lembaga swadaya masyarakat lainnya untuk melakukan perubahan kearah yang positif dalam mengikuti amanat perundang-undangan yang berlaku.
Baca Juga:Â EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah
Bisnis To PeopleÂ
Solusi pengelolaan sampah seakan dipaksakan mengikuti arah keinginan pengusaha (corporate) dengan kemampuan dan keegoannya yang mampu menaklukkan oknum birokrasi yang berkuasa. Sehingga kelihatan arah yang semakin rawan menuju demokrasi corporate. Arah semakin menunjukkan kondisi dimana pengusaha lebih dan/atau akan berusaha menguasai rakyat sebagai konsumennya (Bisnis to People).
Kondisi B to P pada produk consumer goods atau barang konsumsi termasuk sektor pangan, ini semua bila tidak diatasi dengan baik, akan terjadi pergeseran ke produk lain. Tentu akan mempengaruhi pengelolaan sampah, yang ahirnya tidak akan pernah selesai, malah bisa menimbulkan instabilitas keamanan. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya perang saudara antar rakyat, pengusaha yang masing-masing mempertahankan ego atas dua kekuatan besar tersebut.
Penulis mencoba memberi dua contoh kasus B to P yang merugikan rakyat dan bisa menjadi pemicu permasalahan dikemudian hari bila tidak jernih dan bijak menyikapinya adalah pelaksanaan kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Berbayar (KPTG) yang sudah berlangsung sejak tahun 2016.Â
Menyusul pelaksanaan Extanded Producer Responsibility (EPR) dengan terbitnya secara prematur  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029. Jelas Permen LHK P. 75/2019 ini sangat prematur karena tidak didahului oleh Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana amanat Pasal 16 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.Â
Baca Juga:Â Memahami Circular Economi Sampah
Tidak Ada Sistem Tata Kelola SampahÂ
Karena tidak adanya sistem, seakan kondisi ini memang diarahkan pada sebuah ketidakstabilan penanganan solusi demi pemenuhan keinginan semu para oknum pengusaha yang haus materi dengan dukungan oknum birokrasi tentunya. Sektor sampah ini sangat terkait dengan produk industri. Satu sama lainnya memerlukan penanganan yang komprehensif dan solutif. Antara produk dan sampah saling mempengaruhi dalam memberikan solusinya.
Sementara kondisi legislatif (DPR/D) dan yudikatif (penegak hukum) serta media atau jurnalistik sebagai pilar demokrasi sepertinya kaku menghadapi situasi tersebut. Seharusnya DPR/D mengambil sikap tegas khususnya dalam masalah sampah yang sudah terang benderang tergeletak di depan mata yang nyata tidak mampu diselesaikan oleh eksekutif, tentu ada masalah yang menyebabkannya  sehingga nampak tanpa solusi.Â
Satu hal yang paling penting disikapi demi mempertahankan laju atau potensi terjadinya perang asimetris ini dalam persampahan adalah tetap melakukan kritisi secara sistemik struktural atas kebijakan pemerintah secara menyeluruh dan mendorong solusi dengan mengikuti beberapa pendekatan parsial sesuai kondisi dan strategi yang tajam dan mendalam.
Baca Juga:Â Menyoal Ketidakpastian Pengelolaan Sampah Indonesia
Pastinya rakyat harus terus diberi pemahaman sekaligus dicerdaskan agar bisa menjadi kritis untuk menghadapi suasana kebatinan yang kurang kondusif dewasa ini. Demi menghadapi perang asimetris melalui penguasaan semena-mena oleh unsur corporate atau keharusan melawan dan menghadapi demokrasi corporate yang berusaha dibangun dalam kondisi yang karut-marut.
Bagaimana caranya?Â
Terus berusaha menegakkan ekonomi konstitusi UUD'45 agar Pasal 23,27,31,32,33,34 dengan payung Pasal 29 UUD'45 agar bangsa (baca: rakyat) Indonesia mempunyai harkat dan martabat untuk menjadi bangsa yang merdeka secara utuh. Hanya dengan menegakkan ekonomi konstitusi kekayaan bangsa ini bisa tergali dan terjaga untuk dikembangkan demi kemasyalahatan negara, bangsa dan rakyat Indonesia.
Palembang, 11 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H