Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sandiaga Sulit Mengangkat Elektabilitas Gibran dan Bobby

8 Oktober 2020   16:15 Diperbarui: 8 Oktober 2020   16:12 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara akal sehat memang masyarakat pemilih harus lebih cerdas untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam setiap Pilkada di seluruh Indonesia. Agar dinasti politik ini bisa reda terkikis dan semua sadar lalu berhenti demi demokrasi dan kesejahteraan yang adil dan merata.

Perlu dicatat bahwa bukan berarti semua keluarga yang ikut dalam konteks pilkada disebut  masuk dalam dinasti politik. Tergantung kapasitas dan karir yang bersangkutan. 

Banyak keluarga politikus punya basis politik yang sama, memang dipersiapkan sejak dini. Bukan karbitan sebagaimana saat ini banyak dipertontonkan dalam setiap Pilkada atau Pemilu.

Tapi banyak pula kalangan, sesuai apa yang terjadi saat sekarang ini adalah semata aji mumpung saja dan sangat jelas tidak inginkan kekuasaan itu lepas dari rangkulan keluarga.

Lebih dari 20 tahun pasca reformasi, sejarah berulang. Geliat nepotisme dan politik dinasti kembali tampak dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Masa Orde Baru dinasti politik tidak menjadi hal biasa. Kecuali dinasti partai politik sudah lama terjadi dan itu sejak Orde Baru. 

Tapi masa Orde Reformasi, dinasti partai politik dan dinasti politik sudah sama selingkuh dan sudah menjadi kelaziman di Indonesia. Hal inilah yang merusak alam demokrasi kita yang perlu segera dilakukan perubahan mendasar.

Sama seperti Gibran, saat mendekati finalisasi penjaringan bacalon Walikota Solo baru masuk mendaftar dan menjadi kader PDIP. Masuk melalui DPD PDIP Jawa Tengah bukan melalui PDIP Solo.

Kondisi Gibran langsung menyalip calon PDIP lainnya dari Solo yang lebih berpengalaman dalam birokrasi. Tapi Megawati Soekarnoputri lebih memilih Gibran. Mungkin itu merupakan hadiah terahir Megawati kepada Presiden Jokowi, tapi entahlah karena itulah politik -- demokrasi -- model NKRI.

Menurut Gibran melalui wawancara dengan Najwa Shihab di Mata Najwa NarasiTV, "yakin tidak ada pengaruh dari Presiden Jokowi atas pencalonannya sebagai calon Walikota Solo" demikian Gibran. Tapi benarkah pengakuan Gibran tersebut.... ? Ingin ketawa, tapi nanti dosa.

Setelah Gibran bersama Teguh Prakosa mendaftar di PDIP jawa Tengah (4/9), lalu menjadi kader PDIP sekaligus niat ingin menjadi bacalon dari PDIP, berubah drastislah formasi calon Walikota Solo dari PDIP yang terlebih dahulu diunggulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun