Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Setop Sesat Pikir Memahami EPR Pengelolaan Sampah

29 September 2020   23:31 Diperbarui: 2 Oktober 2020   08:48 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Extended Produsen Responsibility (EPR) secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk daripada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang menjadi sampah.

Pelaksanaan EPR dalam tata kelola sampah di Indonesia, sepertinya terjadi sesat pikir dan rencana pola tindak dalam melaksanakannya. Karena lebih disebabkan pada pemahaman yang minim tentang substansi EPR sekaitan regulasi persampahan yang belum menyatu-padu antar pemangku kepentingan (stakeholder). Pelaksanaan EPR harus satu sistem yang harus ditetapkan secara baku oleh pemerintah (Presiden dan DPR). 

Pelaksanaan EPR di luar negeri sedikit berbeda dan berat dibandingkan dengan EPR Indonesia yang berdasar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). 

EPR di Indonesia lebih ringan, karena pembayaran EPR dibebankan pada konsumen. Hanya mekanisme atau sistem pelaksanaannya yang perlu dibuat rapi dan transparan agar tidak menjadi bancakan korupsi. Agar pula tujuan EPR tercapai untuk perbaikan lingkungan yang terbebas dari sampah kemasan plastik atau kemasan lainnya.

Menyambung opini penulis sebelumnya di kompasiana dengan judul "EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah" pada intinya EPR merupakan Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang diperluas, di mana hal tersebut merupakan investasi yang seharusnya mendapat dukungan dari perusahaan produsen berkemasan bila ingin mendapat tempat di konsumennya masing-masing. Karena bila perusahaan menghindari kewajiban atas tanggung jawabnya terhadap EPR, bisa berujung produknya dijauhi konsumen (baca: masyarakat).

Bukan malah sebaliknya menolak pelaksanaan EPR, pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah taktis dan teknis untuk persiapan penerapan EPR tahun 2022, hampir semua negara di dunia telah menjalankan dengan baik EPR tersebut. Suprastruktur dan infrastruktur EPR terdepan harus segera terbentuk di setiap desa dan kelurahan seluruh Indonesia. 

Justru bila EPR diaplikasi dan berjalan sesuai mekanismenya, maka semua komponen akan diuntungkan. Mulai dari pemulung atau pengelola sampah, industri daur ulang sampai kepada perusahaan industri berkemasan sendiri. 

Paling penting dan harus menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda), jangan sampai kecolongan oleh perusahaan produsen berkemasan yang telah memasukkan nilai EPR terhadap produknya selama ini, tapi tidak dilaporkan dan tidak terpantau. Karena dalam regulasi persampahan, pemerintah memberi kebijakan untuk memasukkan nilai EPR ke dalam mekanisme harga produk yang dibayar oleh konsumen. 

EPR Merupakan Beban Bersama Stakeholder

EPR merupakan kebijakan dari pemerintah yang tertuang dalam UUPS, di mana produsen bertanggung jawab atas kemasan yang dihasilkan dari produknya. Tapi hingga saat ini penerapan EPR masih berjalan secara sukarela. 

Terlihat dari sampah kemasan makanan atau minuman, produk kebutuhan rumah tangga, dan yang lainnya terhenti di tempat yang tidak seharusnya berahir jadi sampah di sungai, laut, di bakar dan pada penampungan akhir sampah.

Termasuk banyak pihak menganggap beban EPR semata pada perusahaan produsen produk berkemasan saja. Padahal tanggung jawab EPR ada pada semua pihak, termasuk beban utamanya pada konsumen (baca: masyarakat) barang tersebut. Karena konsumenlah yang akan membayar nilai ekonomi EPR tersebut. Jadi prinsipnya siapa yang produksi sampah, mereka pula yang bertanggung jawab.

PRISE yang dibentuk tahun 2010, merupakan komunitas perusahaan produsen barang berkemasan skala besar, malah mengusung pendekatan Extended Stakeholder Responsibility (ESR) dalam pengelolaan sampah. Khususnya untuk menarik kembali sisa produk mereka yang menjadi sampah. 

Padahal bila pemerintah melaksanakan EPR, jelas aplikasinya adalah seperti ESR juga. Karena memang demikianlah arah perjalanan dan aplikasi EPR versi regulasi persampahan. Hanya saja pelaksanaan EPR harus melalui sistem dan mekanisme yang harus melalui penetapan pemerintah dan diberlakukan seragam untuk semua perusahaan yang telah melalui pelabelan "nilai ekonomi" atas sisa produk yang berahir menjadi sampah. 

Pemerintah sudah seharusnya mengapresiasi keinginan PRISE tersebut sebagai pemicu untuk menciptakan sistem dalam pelaksanaan EPR. Di mana PRISE yang beranggotakan perusahaan multi nasional seperti PT. Coca Cola Indonesia, PT.  Danone Indonesia, PT. Indofood Sukses Makmur, PT. Nestle Indonesia, PT. Tetrapack Indonesia dan PT. Unilever Indonesia. 

Pendekatan ESR ini sesungguhnya bukan masalah asing bagi terlaksananya EPR, tapi ESR memang merupakan aplikasi EPR itu sendiri yang mewajibkan produsen sampah bergotong royong mengelola sampah sesuai kapasitas dan kompetensinya masing-masing, sehingga menghasilkan dampak yang lebih signifikan dan berhasil guna bagi lingkungan.

ESR Aplikasi Teknis EPR

Maka dapat dipastikan bahwa tidak ada pertentangan prinsip antara ESR dan EPR. Kenapa hampir semua pihak masih mempertanyakan atau bahkan banyak yang ingin menolak kehadiran EPR dan mengganti namanya. Karena pemerintah sendiri belum membuat sistem atau road map pelaksanaan EPR. 

Padahal EPR ini tinggal dilaksanakan dan tidak perlu lagi diperdebatkan keberadaannya. Sudah beberapa Menteri LH yang telah membahas EPR termasuk DPR. 

Menteri Negara LH yang pertama mulai membahas EPR adalah Ir. Rachmat Witoelar di masa pemerintahan SBY-JK. Malah yang menjadi motivasi lahirnya UUPS karena didorong adanya rencana pelaksanaan EPR untuk mengantisipasi kekurangan biaya pengelolaan sampah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.  

Seharusnya dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. P.75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, dilengkapi dengan aplikasi Pasal 14 dan 15 UUPS dengan landasannya pada Pasal 13 dan 45 UUPS.

Seharusnya lintas menteri membuat keputusan bersama dalam pelaksanaan EPR. Namun terlebih dahulu Harus melakukan "pelabelan nilai ekonomi" atas sisa produk atau kemasan yang berahir dengan sampah.

Maka dengan adanya dasar label nilai ekonomi (Pasal 14 UUPS), perusahaan produsen berkemasan sampai kepada pengelola sampah di garda terdepan mempunyai acuan nilai ekonomi EPR untuk dijadikan dasar bergerak pada bisnis sampah yang berpola circular ekonomi.

Termasuk dalam peta jalan pengurangan sampah yang isinya mendorong produsen untuk mengurangi sampah dengan capaian target 30% (tiga puluh persen) dibandingkan jumlah timbulan sampah pada 2029. Sekaligus dalam peta jalan tersebut seharusnya dijelaskan siapa berbuat apa dan siapa dapat apa dengan mengikuti amanat dalam perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana Pasal 15 UUPS mengamanatkan semua perusahaan produsen berkemasan untuk komitmen dalam mendukung berbagai upaya terkait menjaga kelestarian lingkungan, khususnya upaya pengelolaan sampah, dengan ikut mengelola (baca: bukan mengolah) sisa produknya.

EPR Dibayar Konsumen

Dalam pelaksanaan EPR, sangat jelas bahwa kewajiban EPR itu bukan hanya dibebankan pada perusahaan produk berkemasan semata untuk menarik kembali sampahnya secara faktualisasi di lapangan, tapi makna dalam UUPS adalah bergotong royong dari usaha hulu sampai hilirnya.

Dalam bentuk gotong royong tersebutlah dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab bersama pemangku kepentingan (stakeholder) dalam melaksanakan EPR itu sendiri yang disebut sebagai ESR.

Maka dari pelaksanaan EPR oleh stakeholder yang bukan hanya produsen berkemasan sendiri, tapi semuanya sampai pada tingkat pemulung. Di lain sisi tentu pelaku pengelola sampah hulu-hilir tersebut mendapat insentif dan disinsentif sesuai Pasal 21 UUPS.

Termasuk perusahaan berkemasan dan industri daur ulang juga harus mendapat insentif atas pemenuhan kewajibannya yang diamanatkan Pasal 15 UUPS. Jadi insentif tersebut baru bisa terlaksana bila semua barang berkemasan terdeteksi dari awal sampai ahir setelah tertangkap sampahnya.

Pemahaman selama ini banyak yang keliru tentang pelaksanaan EPR. Termasuk perusahaan, asosiasi dan lainnya menganggap perusahaan produsen barang berkemasan yang juga harus dibebankan untuk menarik kembali secara langsung sisa kemasannya yang berahir menjadi sampah.

Bahkan perusahaan produsen berkemasan sendiri bukan menjadi bebannya untuk membayar kewajiban EPR. Karena UUPS memberi isyarat atau bahkan mengarahkan bahwa nilai EPR sebuah produk dimasukkan dalam mekanisme harga produknya. Jadi sesungguhnya yang punya beban atau yang "membayar" nilai EPR itu adalah konsumennya sendiri atau masyarakat pengguna produk.

Ilustrasi: PKPS sebagai poros circular economi dan menjadi infrastruktur EPR. Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: PKPS sebagai poros circular economi dan menjadi infrastruktur EPR. Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Bagaimana EPR dilaksanakan ?

Pelaksanaan EPR bukan menjadi hal mudah, di mana seenaknya perusahaan bisa menentukan sikap terhadap pelaksanaan kewajiban EPR.  

Pemerintah perlu segera bersikap dan melibatkan asosiasi serta lembaga swadaya untuk memberi input teknis dan non teknis sebelum menentukan arah dan kebijakan EPR (baca: sistem) dalam pelaksanaannya.

Ada tiga kategori dari instrumen kebijakan yang dapat diprakarsai oleh pemerintah bersama asosiasi dan lembaga swadaya untuk mendorong tanggung jawab produsen atas EPR, yakni:

1) Instrumen Peraturan: wajib mengambil kembali, minimum standar konten daur ulang; tingkat pemanfaatan bahan kebutuhan sekunder; pemulihan harga atau waktu; standar efisiensi energi; larangan pembuangan dan pembatasan; larangan dan pembatasan bahan; dan larangan terhadap produk berbahaya.

2) Instrumen Ekonomi: biaya pembuangan yang harus dibayar di muka; retribusi terhadap bahan dasar; menghapus subsidi bahan dasar; deposito/sistem pengembalian dana, dan prosedur pengadaan produk yang ramah lingkungan.

3) Instrumen Informatif: segel atas persetujuan jenis pelabelan lingkungan (Environmental Choice); pelabelan informasi lingkungan (efisiensi energi, konten CFC, konten daur ulang); peringatan bahaya produk; pelabelan ketahanan produk.

Tentang EPR baca selengkapnya di "Mengenal Extended Producer Responsibility" 

PKPS Merupakan Suprastruktur EPR

Dari ketiga instrumen pelaksanaan EPR tersebut di atas, menjadi mudah menjalankannya. Tinggal diaplikasi saja secara teknis dan non teknis -- kebijakan atas penerapan -- karena UUPS serta regulasi pendukung lainnya sudah ada dan terpenuhi.

Termasuk lembaga yang bisa merekomendasi - penghubung - terjadinya circular ekonomi terhadap semua unsur pelaku pengelola produk sisa dan sampah (baca: Primer Koperasi Pengelola Sampah) sudah disiapkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, hanya perlu kesamaan sikap lintas Kementerian dan Lembaga yang berperan sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengenglolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

PKPS merupakan poros circular economy yang akan mampu menghubungkan -- sinergitas -- pelaku pengelola sampah hulu hilir atau dari produsen, pengelola sampah dan sampai kepada industri daur ulang, untuk mendeteksi produk sisa yang berahir menjadi sampah.

PKPS pula menjadi lembaga yang bisa diberi kewenangan untuk merekomendasi pihak pengelola sampah kepada pemerintah untuk diberikan insentif sesuai Pasal 21 UUPS. Termasuk insentif kepada perusahaan produk berkemasan dan industri daur ulang.

Menjadi catatan atau rekomendasi penting dari penulis, bahwa bila ingin membuat sistem atau peta jalan pelaksanaan EPR atau sekalipun itu disebut ESR adalah hilangkan perdebatan murahan antara plastik ramah lingkungan dan plastik konvensional.

Sebenarnya apapun jenis plastik atau kemasan yang dipergunakan oleh produsen produk berkemasan itu atas kreativitasnya dalam menyiasati daya beli dan kesesuaian isi produk, jadi itu merupakan kebijakan perusahaan untuk menjaga kelangsungan produknya. Menjadi kebijakan dan hak perusahaan. 

Jangan mereka terganggu, akibat karena ulah kita yang salah mengelola sampah. Karena sesungguhnya semua sampah bisa dikelola bila mana mengikuti regulasi persampahan.

Brebes, 29 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun