Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) atas pelarangan penggunaan kantong plastik sangat jelas melanggar UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, karena menafikan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Diperparah pula karena melabrak KUH Perdata dan termasuk Perda No.3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Jakarta.
Sangat dipastikan bahwa di dunia ini, termasuk Indonesia tidak ada kantong--kresek plastik--ramah lingkungan atau yang terbebas dari bahan plastik, sekalipun plastik tersebut disebut berasal dari singkong atau jenis bahan organik lainnya. Semua masih mengandung plastik dan tetap meninggalkan jejak mikroplastik yang dianggap berbahaya bila tidak dikelola dengan benar.Â
Sementara dalam fakta lapangan, apapun jenis bahan kemasan kantong plastik ataupun lainnya tersebut bila dikelola dengan cara mendaur ulang (recycle), itu baru bisa disebut dan dinyatakan ramah lingkungan sekaligus plastik tersebut menjadi ramah ekonomi.
Jadi kita jangan tertipu oleh sebuah kampanye promosi massif kalangan elit atau sebuah kebijakan dan pernyataan pemerintah dan pemda yang berani mengatakan ada kantong plastik ramah lingkungan tanpa daur ulang. Itu semua merupakan pembohongan dan pembodohan publik semata untuk kepentingan kelompok bisnis tertentu yang ingin melakukan monopoli.
Maraknya issu kantong plastik dengan balutan issu ramah lingkungan sejak tahun 2015 dan menjadi sexi setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) tahun 2016, menuai protes atau sorotan yang sangat serius dari Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta. Karena GiF menduga KPB-KPTG hanya akan dijadikan bancakan korupsi.Â
Cabut Izin Industri Kantong Plastik
Sebaiknya pemerintah tidak perlu pusing dan memaksa diri untuk melarang penggunaan kantong plastik, bila memang merasa benar bahwa kantong plastik atau plastik sekali pakai (PSP) dianggap berbahaya. Semua itu hanya akan menghabiskan uang rakyat saja untuk melakukan pembohongan.Â
Karena sangat nyata bahwa Pemerintah dan Pemda seakan "memaksa" diri mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik dengan alasan penyelamatan bumi.Â
Padahal senyatanya oknum menjadi dalang masalah, sesungguhnya memahami kekeliruannya. Hanya karena syahwat materi dan kuasa yang berlebih, sehingga tetap berani berbuat keliru. Walau sebenarnya kebijakan KPB-KPTG itu sangatlah beresiko dikemudian hari.Â
Paling praktis bila pemerintah dan pemda menganggap pelarangan tersebut benar adanya. Lebih afdol keluarkan saja pernyataan bahwa kantong plastik disamakan narkoba alias haramkan saja dalam penggunaannya dan sekaligus cabut izin industri semua perusahaan yang memproduksinya.
Karena strategi yang dilakonkan saat ini oleh badut-badut pentasnya terlalu sederhana dan disana terbaca spekulasi pembodohan dan pembohongan publiknya.Â
Bila pemerintah dan pemda tetap mengizinkan perusahaan kantong plastik konvensional berproduksi, tapi tetap juga melarang penggunaannya. Semua ini nyata siasat murahan dan punya maksud negatif dalam kebijakan pelarangan tersebut.Â
Karena bukankah itu sebuah tindakan sesat dan dusta pada masyarakat dan mendzalimi perusahaan industri serta perusahaan-perusahaan pendukung industri dan pemasaran mereka ?.Â
Dalam satu sisi, pemerintah menarik pajak dari perusahaan industri kantong plastik, sementara mereka dilarang menjual atau dipergunakan hasil produksinya.
Di mana akal dan nurani serta hukum itu di parkir?
Kebijakan Hoaks Melarang Penggunaan Kantong Plastik.
Kalau memang bukan merupakan kebijakan hoaks, kenapa pemerintah tidak berani mengambil tindakan ekstrem saja untuk mencabut izin industri kantong plastik di seluruh Indonesia?
Ya tentu karena memang plastik tidak bermasalah, hanya saja ada masalah yang ingin ditutupi selain persaingan antar bisnis kantong sampah plastik.
Apakah hanya ingin menutup misteri KPB-KPTG yang berlabel triliunan itu?
Pelarangan kantong plastik justru bisa berimplikasi ke ranah hukum dan pelanggaran administrasi pemerintahan atau bila pedagang tidak menyiapkan kantong untuk mengemas barang dagangannya, itu merupakan sebuah tindakan melanggar norma hukum yang dilakukan oleh pedagang barang yang tidak menyiapkan dan menggunakan kantong (plastik, kertas dan lainnya) pada setiap penjualannya.
Kebijakan Bunuh DiriÂ
Melarang penggunaan kantong plastik itu sama saja tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemda serta stakeholder lainnya yang turut mendukung.Â
Bahkan presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati bisa diduga "menyuruh atau bersama pedagang melanggar" aturan atau norma hukum, khususnya Pasal 612 dan Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal dalam KUH Perdata tersebut mensyaratkan objek perikatan jual-beli haruslah berupa kausa (sebab, isi) yang halal. Kantong (plastik) tidak dapat dipungkiri merupakan suatu benda yang muncul dalam setiap transaksi jual-beli ritel atau pasar dari pihak pengusaha ritel atau pedagang selaku penjual.
Selama ini begitulah praktek jual-beli barang ritel, guna menyempurnakan serah terima barang yang dibeli darinya maka seluruh barang belanjaan dibungkus dengan kantong plastik.Â
Setelah dibungkus, sempurnalah jual-beli secara ritel tersebut sebagaimana diamanatkan oleh KUH Perdata agar selanjutnya dapat dinikmati oleh si pembeli.
Melihat lebih dalam soal kebijakan pemerintah terkait plastik memang akan menghasilkan pemahaman yang membingungkan publik atau masyarakat.Â
Karena tidak ada satupun kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah dan pemda yang berada pada ruang kosong tanpa kepentingan sesuatu apapun. Entah itu kepentingan secara umum, atau memang merupakan sebuah pesanan yang bertujuan monopoli bisnis oleh kelompok tertentu yang dekat dengan oknum penguasa.Â
Tidak Ada Produk Ramah Lingkungan
Sampai saat ini belum ada plastik yang ramah lingkungan sebagai pengganti kantong plastik konvensional atau memang fakta belum ada kantong kemasan yang disiapkan, ya memang tidak ada produk yang bisa menggantikan kemasan plastik dengan harga murah serta dipastikan ramah lingkungan dari pada kardus atau kertas yang juga harganya mahal dan terlebih tidaklah ramah lingkungan.
Bila dengan alasan ada kantong plastik ramah lingkungan, itu sama saja pembohongan dan pembodohan publik untuk dipergunakan secara massal. Karena barang atau kantong plastik yang dimaksud ramah lingkungan, itu semua bohong dan mengingkari kenyataan.Â
Karena semua jenis kantong plastik termasuk plastik jenis oxo yang berbahan singkong, yang ditengarai ramah lingkungan, juga sesungguhnya tidak ramah lingkungan.Â
Tetap mengandung mikroplastik yang berbahaya tersebut, jadi kelompok plastik oxo tersebut tetap harus di daur ulang untuk menjadi rumah lingkungan.Â
Justru malah lebih sulit jenis oxium tersebut untuk di daur ulang, karena rendah nilai ekonominya. Termasuk jenis oxium tersebut tidak bisa di mix plastik non oxium kecuali hanya bisa dijadikan briket sampah.Â
Pemerintah dan Pemda keliru besar dan terlalu berani bertindak dan sangat gegabah serta prematur mengambil kebijakan dalam menanggulangi sampah plastik dengan cara melarang penggunaan kantong plastik. Kantong plastik hanyalah salah satu dari ratusan jenis plastik yang sampahnya tidak terkelola dengan baik di Indonesia.
Solusi Pengelolaan Sampah
Jadi solusinya bukan pada pelarangan penggunaannya. Karena solusi tersebut berdampak pada terancamnya kelangsungan hidup usaha industri, berkurangnya pemasukan pajak, potensi pemutusan hubungan kerja dan lainnya.
Absolut solusinya tetap pada mendorong pengelolaan sampah plastik yang benar dengan cara mendaur ulang. Untuk memudahkan usaha industri daur ulang, pemerintah dan pemda mutlak harus "memaksa" pengelolaan sampah di kawasan sumber timbulannya dengan mengikuti UUPS.
Ramah lingkungan dalam pemahaman yang benar dan obyektif adalah melakukan pengelolaan sampah secara total, organik dan anorganik, dengan cara mengikuti regulasi sampah yang telah ada dengan pola circular economy.Â
Jadi untuk mengelola sampah termasuk sampah plastik dengan baik tanpa menimbulkan resistensi dari semua komponen produk yang berahir pada sampah. Stakeholder sampah harus menjalankan dengan tegas Pasal 13,14,15,21,44 dan 45 UUPS.Â
Maka pemerintah dan pemda harus jujur dan tegas melakukan pengelolaan sampah mulai dari hulu ke hilir dengan mendorong circular economy secara benar dan melibatkan semua pihak.
Sementara kunci keberhasilan circular economy adalah sebuah keharusan pemerintah melaksanakan UUPS tersebut diatas dan sekaligus menerapkan Pasal 21 UUPS pada semua pihak. Mulai dari hulu yaitu industri berkemasan sampai ke hilir pada unsur pengelola sampah itu sendiri secara berkelanjutan.Â
Jadi semua komponen harus menikmati insentif dan termasuk disinsentif. Pelaksanaan Pasal 21 UUPS untuk semua produsen atau pengelola sampah hulu hilir menjadi barometer keberhasilan pelaksanaan circular economy menuju waste management yang lebih baik.
Purwakarta, 28 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H