Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah

27 Mei 2020   18:25 Diperbarui: 28 Mei 2020   06:34 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menanggapi pemberitaan melalui website Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) dengan judul "EPR Belum Jalan di Indonesia, Ini Penyebabnya" perlu kami tanggapi beberapa penjelasan dari Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Dirjen IKFT Kemenperin) Muhammad Khayam.

Patut disayangkan, entah sengaja atau tidak. Masih banyak kalangan dalam membaca regulasi sampah secara parsial atau sepotong-potong, tidak membaca penjelasan pasalnya. Juga alfa membaca turunan dari undang-undang (UU) tersebut berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden ataupun peraturan menteri dan lainnya.

Padahal sebuah UU itu memiliki pasal yang terkait antar pasal dalam satu UU. Disampaing keterkaitan antar UU lainnya yang saling mendukung dan melengkapi. Juga banyak yang salah paham tentang regulasi. Mereka anggap memberatkan, padahal justru regulasi itu sangat menguntungkan semua pihak. Khususnya para pengusaha, akan menjaga investasi itu sendiri. 

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Tanggapan Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta atas keterangan Muhammad Khayam
Dirjen IKFT Kemenperin dalam kelola sampah ex produk industri berkemasan yang berahir jadi sampah, sekaitan Extanded Produsen Responsibility (EPR). Intinya adalah EPR itu berada dalam dekapan UUPS, mari kita perhatikan regulasinya sebagai berikut:

Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) pada Pasal 15, bukan berarti produsen hanya wajib mengelola sampah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Tapi termasuk yang dapat di daur ulang atau dimanfaatkan kembali.

Makanya dalam membaca atau mengaplikasi regulasi terlebih UUPS sangat perlu dibaca tuntas, termasuk penjelasannya. Pasal 15 sangat jelas diurai dalam penjelasan UUPS dan melalui Pasal 12,13,14 dan 15 Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (PP. 81/2012) sebagai turunan utama UUPS.

Dalam mengatur dan mengaplikasi Pasal 15 yang sekaitan dengan kewajiban produsen atau bahasa kerennya disebut Extended Produser Responsibility (EPR) atau Corporate Social Responsibility (CSR) haruslah memperhatikan PP. 81/2012. EPR adalah CSR yang diperluas. Jadi harus dijalankan kerena akan merusak usahanya sendiri, karena mempermainkan kewajibannya. 

Baca Juga: Bank Sampah, EPR, dan Kantong Plastik Berbayar

Kalau perusahaan selalu berkelit terhadap kewajiban mengelola ex produknya, tentu akan merugikan sendiri perusahaan yang bersangkutan. Karena masalah CSR dan EPR adalah kewajiban. Menghindari kewajiban, yakin akan berefek pada pemasaran produknya sendiri.

Apalagi EPR, pemerintah memberi kebijakan untuk memasukkan harga kemasannya dalam kesatuan harga produk. Hanya saja harga kemasannya harus disetor terlebih dahulu kepada pemerintah bersamaan suplier produknya ke pasar. Sementara CSR akan dikeluarkan di ahir tahun setelah perusahaan menghitung untung-ruginya. Begitu bahasan sederhananya antara CSR dan EPR.

Begitu juga mendapatkan insentif bagi setiap pengelola sampah sebagaimana yang dimaksud Pasal 21 UUPS. Produsen juga tidak bisa serta merta memperoleh Insentif atas EPR yang dikeluarkan bila belum bersinergi dengan unsur pelaku pengelola sampah garda terdepan dalam rangkaian pengelola sampah.

Maka itu perlunya pelaksanaan Pasal 13 dan Pasal 45 UUPS yang menjadi basis kekuatan pengelolaan sampah kawasan yang terstruktur rapi dan masif di setiap desa atau kelurahan dimana produk dari produsen itu berahir. Juga menjadi dasar perhitungan berapa besar insentif yang harus diterima oleh rangkaian pengelola sampah.

Sebenarnya bukan tidak ada aturan EPR dan Insentif lainnya tersebut. Selain sudah sangat jelas petunjuk dalam UUPS dan PP. 81/2012, juga dalam Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.

Namun pasca pelaksanaan kebijakan kantong plastik berbayar (KPB) tahun 2016 yang sarat permainan dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Dirjen PSLB3-KLHK, maka sepertinya ada intrik oknum KLHK dan Kemendagri mencabut Permendagri 33/2010 di medio 2016, padahal disinilah cantolan insentif itu berada. (Baca: Permendagri 33/2010)

Baca Juga: Mendagri Harus Segera Terbitkan Pedoman Pengelolaan Sampah

Termasuk dalam Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah (Permen ini juga pihak PSLB3-KLHK berusaha ingin merevisinya sejak 2016 atau sesudah Permendagri 33/2010 dicabut) juga termasuk ada pedoman Permen Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraaan Prasarana dan Sarana Persamapahan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Dimana Bukti Peran Menperind? 

Justru sebenarnya yang belum mengatur dan mengambil sikap terhadap Pasal 14 dan 15 UUPS adalah pihak Kementerian Perindustrian sendiri. Sementara Kementerian Koperasi dan UKM dalam menyikapi tupoksinya pada UUPS tersebut sudah mendorong terbentuknya Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) di setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Contoh PKPS Surabaya, sila klik di Sini.

Pembentukan PKPS ini didasari atas MoU atau PKS antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) No. PKS.1/MENLHK/PSLB3/PSLB./0/3/2016 dan Nomor : 05/KB/M/KUKM/III/2016 tentang: Program Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah  berbasis Lingkungan Hidup.

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Apresiasi Inisiatif Produsen

Beberapa perusahaan produsen berkemasan telah berinisiatif menerapkan pra program EPR terhadap produk yang mereka hasilkan seperti misalnya PT. Danone Indonesia melalui program Aqua Peduli juga ada The Body Shop dengan program Bring Back Our Bottle dan program lainnya. 

Penjelasan Dirjen Dirjen IKFT Kemenperin tersebut terhadap produk tidak dapat diurai oleh alam (mengacu sepenggal UUPS), maka terbantahkan oleh progres perusahaan diatas yang menarik limbah kemasan produk air mineralnya. Satu sisi dapat diapresiasi perusahaan tersebut dengan menunjukkan kepeduliannya. 

Perlu diingatkan bahwa melaksanakan EPR, tidak bisa dilaksanakan parsial demikian. Perusahaan juga akan rugi bila tidak tersistem sesuai UUPS, agar tujuan EPR dan kepentingan perusahaan tercapai.

Di sinilah peran lintas Kementerian dan Lembaga, khususnya KLHK, Kemenperind serta Kemenkop dan UKM serta lintas asosiasi untuk duduk bersama dalam rangka menyelesaikan Pasal 14 dan 15 dengan basis aplikasi pada Pasal 13 dan 45 UUPS, selanjutnya untuk memperoleh insentif sesuai Pasal 21 UUPS. 

Tapi hal ini tidak akan berjalan sesuai UUPS sepanjang tidak bersinergi dengan lintas pengelola sampah garda terdepan. Karena sampah itu dipilah dulu, tidak langsung berkumpul sesama jenisnya, ada keterlibatan garda terdepan yang bersinergi. Ada keterkaitan yang sangat erat dengan pemulung, pengelola bank sampah, pelapak dan lainnya. 

Semuanya mereka harus hidup dalam satu komunitas besar yang disebut pengelola sampah. Maka disanalah PKPS dimiliki oleh multy stakeholder dan bukan single stakeholder.  

Satu contoh misalnya Group PT. Kemasan Ciptatama Sempurna seluruh Indonesia (produsen produk berbahan ps-foam terbesar di Indonesia) telah bersinergi dengan PKPS yang sudah terbentuk diseluruh Indonesia. Hal ini sesungguhnya wujud CSR EPR sesuai UUPS, walau itu belumlah sempurna karena Pasal 15 belum diaplikasi pada keterkaitan pasal 21 UUPS.

Begitu juga PT. B-Plast Surabaya bersinergi dengan PKPS Surabaya untuk menarik kemasan multy layer dari para pemulung atau bank sampah anggota PKPS. Maka harusnya dalam pelaksanaan EPR, perusahaan produsen harus bersinergi tripartit antara PKPS dan Industri daur ulang untuk kolaborasi menjalankan EPR dan juga termasuk CSR. 

Dari kolaborasi antar tripartit tersebut, pemerintah dan pemda dapat memperoleh data akurat dan membantu atau sebagai penyeimbang perdanaan dalam pengelolaan sampah. 

Progres yang dilaksanakan oleh PKPS seluruh Indonesia bersama PT. Kemasan Group dan PT.  B-Plast Surabaya tersebut sudah mendekati arah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. 

Namun masih perlu sistem yang baku atau penyempurnaan secara sinergitas, karena bukan hanya PT. Kemasan satu-satunya punya produk berbahan ps-foam di Indonesia. Di antaranya adalah PT. Indofood. Termasuk PT. B-Plast harusnya mendapat dukungan dari perusahaan produsen dari kemasan multy layer seperti banyak di domimasi oleh PT. Unilever yang di daur ulang oleh B-Plast. Progres seperti ini yang bisa diperhitungkan oleh pemerintah untuk mendapat insentif Pasal 21 UUPS. 

Baca Juga: PKPS, Koperasi Sampah Berbasis Multipihak

Maka bukan tidak ada kewajiban yang mengikat kepada pelaku industri, dalam bentuk laporan wajib mengenai implementasi program EPR tersebut dan memperoleh reward dan tindakan punishment terhadap industri yang tidak menerapkan EPR.  

Perlu diingat bahwa EPR itu adalah CSR yang diperluas, maka wajib hukumnya melaksakan fungsi CSR terhadap kemajuan perusahaan produk itu sendiri.

Mengenai perlunya kelembagaan khusus mengatur EPR, sesungguhnya belum dibutuhkan saat ini. Karena bila pemerintah pusat mendukung pemda menjalankan Pasal 13, 21, 44 dan 45 UUPS dengan baik, maka kelembagaan tersebut yang dimaksud dalam penjelasan Dirjen IKFT Kemenperin di website Adupu belum dibutuhkan. Masih perlu menyelesaikan dulu Pasal 14 dan 15 UUPS, serta suprastruktur dan infrastruktur di garda terdepan bersama pemda. 

Namun bila Presiden Jokowi merasa perlu membentuk lembaga khusus, sebaiknya digabung dengan pengaturan kebijakan CSR. Agar lebih fokus dalam aplikasi penyaluran dan pelaksanaan program CSR dan EPR, dengan catatan lembaga tersebut berdiri sendiri secara independen bukan berada dibawa kementerian. Karena dananya bisa kacau balau.

Maka disarankan pada stakeholder lintas kementerian dan lembaga yang ada dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jaktranas Sampah) agar berkolaborasi dengan benar. Jangan saling melindungi untuk menghindari kewajiban.  

Baca Juga: PKPS adalah Lokomotif Ekonomi Sampah di Tengah Pandemi Covid-19

Mari jalankan program tata kelola sampah atau waste management dengan sinergi bulat untuk menciptakan sistem yang benar dan bertanggungjawab. Jangan parsial bekerja sebagaimana yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2008 sampai 2020. Mari kita sedikit menaruh malu pada rakyat dan dunia internasional, sepertinya kita dianggap bodoh dalam mengurus sampah yang kita produksi.  

Sampai saat ini tidak ada progres positif yang berarti dalam menyikapi pasal inti dari UUPS yaitu Pasal 13,14,15,21,44 dan 45. Mari kita ahiri perdebatan murahan yang umumnya hanya memiliki atau inginkan kepentingan pribadi atau bisnisnya sendiri. Seakan mengoyak layar perahunya sendiri. Jalankanlah pasal-pasal tersebut agar usahanya lebih sukses dan berkah. Tidak berada dalam bayang-bayang kesalahan.

Diharapkan kepada semua stakeholder persampahan bersama mengawal UUPS ini dengan niat suci untuk menyelesaikan masalah sampah Indonesia. Karena percuma mengelak dari UUPS, akan menuai kerugian pengelolanya sendiri. Baik pemerintah, pemda maupun pihak perusahaan.

Setop saja kolaborasi negatif sebagaimana yang lazim dipertontonkan, karena kami rakyat sudah cerdas, bukan bodoh-bodoh amat sesuai penilaian selama bertahun-tahun.

EPR dan CSR merupakan investasi dan bukan biaya serta sebuah bukti kepedulian dalam menyelamatkan bumi dari sampah. Terima kasih dan selamat berkolaborasi. 

Surabaya, 27/5/20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun