Jaga jarak aman, sesungguhnya itu merupakan strategi utama dalam menyikapi hakekat pesan moral yang harus dilaksanakan dalam mencegah dan menormalkan kembali keadaan atau "New Normal" di Indonesia atas pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh dunia dan termasuk Indonesia.
Jaga jarak aman terhadap hal-hal positif dan negatif dalam hidup kehidupan. Dekati hal positif, misalnya kita kurang silaturahmi atau mungkin cara kita bersilaturahim yang salah. Begitu pula jauhi hal negatif, misalnya kita dalam bekerja, hindari dan jauhi pikiran dan sikap koruptif dan jangan merampas hak orang lain dengan memanfaatkan jabatan atau kekuasaan. Setop mengkonsumsi makan kotor yang bersumber dari hak orang lain.Â
Sebagai umat beragama sepatutnya berpikir dan memahami pesan moral dari Tuhan Ymk tersebut untuk tunduk dan taat pada aturan #JagaJarakAman walau sekiranya tidak ada pengetatan kedisiplinan atas aturan dari pemerintah, dengan kesadaran pribadi maka harus memulai kedisiplinan itu, untuk taat pada aturan yang berlaku.Â
Pesan moral tersebut terpulang pada kesadaran diri atas makna apa yang ingin disampaikan Tuhan Ymk melalui pandemi Covid-19. Pandemi ini sesungguhnya Tuhan inginkan hamba-Nya untuk melakukan perubahan mendasar dalam hidup dan kehidupannya.
Perubahan apakah itu ?
Ya, perubahan secara umum, utamanya terhadap sikap sebagai umat manusia yang beragama, seharusnya disiplin dan selalu mengikuti norma yang telah ditentukan oleh agama dan kepercayaan kita masing-masing serta kebijakan dari pemerintah.
Secara subyektif pesan moral tersebut juga sangat menyorot kehidupan kita sendiri dalam menghadapi keluarga. Mungkin sebelum adanya pandemi, hidup kita terlalu berjarak dengan keluarga, tetangga, pekerjaan, termasuk hubungan antar negara yang tidak saling menghargai dan lain sebagainya.
Maka Tuhan Ymk menegur sekaligus  mengajari kita agar melakukan restorasi untuk mengatur ulang "jarak" atas kehidupan yang berjarak tersebut. Selama ini kehidupan manusia sangat didominasi oleh unsur materi atau kebendaan semata. Kita sudah lalai dalam berperilaku dan beragama.Â
Terlepas dari sisi positif atas kebaikan dalam pelaksanaan mudik. Sadarkah kita bahwa ada fenomena negatif yang terjadi dalam mudik tersebut. Terjadi inefisiensi atau pemborosan bila menghadapi mudik. Tradisi mudik ini harus segera dirubah paradigmanya. Jangan memaksa di hari-hari tertentu saja untuk pulang kampung.Â
Banyak orang menengah kebawah memaksa diri untuk mudik. Karena malu dikatakan tidak berhasil di rantau bila tidak mudik, untuk menghindari sorotan dianggap tidak mampu. Menutupi persepsi tersebut, sampai melakukan hal diluar kemampuannya. Memaksa diri untuk menyiapkan barang atau pakaian dalam rangka mudik untuk dipakai tampil di kampung.
Ada yang memaksa diri untuk dikatakan hebat, membuat pencitraan sebagai orang peduli dengan cara bagi-bagi amplop di Hari Raya Idul Fitri. Malah ada sampai berutang atau kredit barang  konsumtif, semisal kredit kendaraan demi untuk dipakai mudik, hanya sekedar ingin tampil beda di kampung halamannya.Â