Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menkeu Sri Mulyani, Apakah Mau Amankan "Misteri KPB" melalui Cukai Kantong Plastik?

6 Mei 2020   06:45 Diperbarui: 7 Mei 2020   10:31 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: PPT Kementerian Keuangan, latar belakang Cukai Kantong Plastik. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN

"Desain kebijakan atas solusi sampah Indonesia atau lebih khusus kemasan plastik, bukan dengan Cukai Kantong Plastik, botol mineral atau kemasan lainnya. Tapi aplikasi Pasal 15 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS)" Asrul Hoesein, Founder Green Indonesia Foundation, Jakarta.

Bicara tentang sampah seperti tiada habisnya di Indonesia. Sesungguhnya kalau pemangku kepentingan ingin serius selesaikan sampah, tidak ada masalah. 

Tinggal jalankan regulasi sampah yang sangat bagus itu, Karena sudah pro rakyat, pro pengusaha dan pro pemerintah dan pemerintah daerah (pemda).

Sebenarnya masalah sampah dan terkait sampah plastik ini sangat lucu dan ngeri. Seandainya publik atau rakyat konsumen mengetahui duduk masalahnya, mungkin rakyat marah besar. Karena sangat melanggar berbagai regulasi.

Termasuk Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Presiden Jokowi juga pasti ikut marah besar. Karena data dan info apa yang diterima atau masuk ke telinga dan meja kedua beliau tersebut sungguh bertentangan dengan regulasi persampahan dan kenyataan yang ada.

Sebagaimana pernah terjadi gugatan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) atas Perpres 18 Tahun 2016 Tentang PLTSa 12 Kota di Indonesia oleh Komunitas Tolak Bakar Sampah (penulis termasuk salah seorang penggugat). Selanjutnya perpres tersebut di cabut oleh MA pada awal 2017. Karena melanggar ketemuan nasional dan Internasional.

Baca Juga: Perang Plastik dan Kertas, Akibat Kekeliruan Membaca Regulasi Sampah

Ilustrasi: Iklan KPB-KPTG. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Ilustrasi: Iklan KPB-KPTG. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Sekilas Tentang Kantong Plastik Berbayar

Sejak 2016 penulis melalui Green Indonesia Foundation Jakarta, mengoreksi adanya Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB). Kebijakan yang menjual kantong plastik melalui ritel (pasar modern) anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) melalui beberapa kali Surat Edaran (SE) Dirjen PSLB3-KLHK yang ditandatangani tangani oleh mantan Dirjen PSLB3 ibu Tuti Hendarwati Mintarsih.

SE PSLB3-KLHK No: S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, yang diberlakukan sejak tanggal 21 Februari 2016. 

Masalah yang menjadi fokus protes atau gugatan Green Indonesia Foundation yang tidak masuk akal dalam kebijakan KPB ini adalah:

1) Dana KPB kemana ? Diduga menjadi bancakan korupsi (gratifikasi) oleh oknum penguasa dan pengusaha atas penyalahgunaan wewenang oleh Dirjen PSLB3-KLHK.

2) Dana KPB hasil program plastik berbayar tidak dikelola oleh pemerintah, tetapi dikelola langsung oleh masing-masing pengusaha ritel.

Manajemen dana seperti ini merupakan praktik yang tidak baik ditinjau dari segi tata kelola kepemerintahan (good governance). Apalagi dana pungutan dari rakyat (Baca: Konsumen) 

3) Sesuai SE KPB, dana plastik berbayar dimasukkan dalam mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR) yang akan diatur oleh masing-masing pengusaha ritel, sangat jelas salah besar. 

Penggunaan dana kegiatan CSR menimbulkan pertanyaan: Mengapa program CSR harus didanai oleh konsumen? 

Ketentuan mengenai CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), antara lain dalam UU. Perseroan Terbatas, UU. Penanaman Modal maupun UU. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Bahkan dalam PP. No. 81/2012 dikenal prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) bagi produsen, importir, distributor, maupun retailer dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan. 

Ilustrasi: Bukti jual kantong plastik sampai sekarang. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Ilustrasi: Bukti jual kantong plastik sampai sekarang. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Dana yang dilakukan oleh pihak di luar pemerintah dalam desain KPB-KPTG yang sekarang berlaku sejak tahun 2016, dapat menimbulkan masalah ditinjau dari tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).

Meskipun program kantong plastik berbayar (KPB) tersebut bertujuan baik, setidaknya terdapat beberapa masalah yang sangat berpotensi menghambat pencapaian tujuannya, karena niatnya sudah melenceng dari tujuannya dalam merubah paradigma kelola sampah plastik. 

Memang niatnya ingin mempermainkan dana KPB ini, terbukti solusi terbaik sudah diberikan oleh penulis melalui Green Indonesia Foundation secara resmi kepada Dirjen PSLB3 KLHK dengan tembusan lintas menteri. Tapi semua abai, jadi diduga keras ada terjadi perselingkuhan stakeholder dalam KPB-KPTG tersebut. 

Serta patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Dirjen PSLB3-KLHK, indikasi terjadi korupsi gratifikasi. Sangat jelas alibi itu, Karena oknum tertentu dari pejabat PSLB3-KLHK sampai pada oknum Asosiasi dan non asosiasi sangat getol membela KPB-KPTG.

Harusnya Dana KPB-KPTG dikelola secara independen yang kemudian dipergunakan untuk kegiatan pengendalian sampah dalam mencegah pencemaran lingkungan. Pengusaha ritel hanya bertugas mengumpulkan dana tersebut. 

Sangat mengherankan kenapa sebelum dilaksanakan kebijakan tersebut pada Februari 2016, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak mengingatkan KLHK dan APRINDO ? Dimana BPKN dan YLKI disebut dalam SE kedua, yaitu SE PSLB3-KLHK No : S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016. 

Karena ada SE pertama tentang KPB ini yaitu No. SE-06/PSLB3-PS/2015 Tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kantong Plastik Berbayar Pada Usaha Ritel Modern, tanggal 17 Desember 2015. SE ini ditujukan pada para Gubernur, Bupati/Walikota dan Para Pelaku Usaha seluruh Indonesia. Senyatanya SE pertama (2015) ini diabaikan dalam pengambilan keputusan pada SE kedua (Februari 2016).

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Ilustrasi: Setop Cukai Kantong Plastik, kantong plastik bukan jenis plastik sekali pakai. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Ilustrasi: Setop Cukai Kantong Plastik, kantong plastik bukan jenis plastik sekali pakai. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pengelolaan sampah diatur dalam UUPS. Meskipun demikian, UU tersebut tidak memberikan kewenangan pemungutan dana untuk pengelolaan sampah. Maka jelas bahwa SE PSLB3-KLHK tentang KPB-KPTG, cacad demi hukum. Berarti bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli).

Terlebih lagi Pasal 21 UUPS menyatakan bahwa pemerintah memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah dan memberikan disinsentif kepada orang yang tidak melakukannya. Berarti bukan harus menjual KPB-KPTG, seharusnya Kemenkeu telaah semuanya, jangan langsung menerapkan CKP.

Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif atau disinsentif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP No. 81/2012 sebagai peraturan pelaksanaan dari UUPS juga tidak mengatur secara khusus mengenai pemungutan dana tersebut.

Berdasarkan UU Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003), kewenangan melaksanakan pemungutan pendapatan negara berada pada Menteri Keuangan sebagai pengguna anggaran dengan melaksanakan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan harus menyetorkan pungutan tersebut ke kas negara. Jadi apa yang dilakukan oleh KLHK dan APRINDO nyata salah dan pungli.

Baca Juga: Lingkaran Setan Solusi Sampah Plastik Indonesia

Ilustrasi: PPT Kementerian Keuangan, latar belakang Cukai Kantong Plastik. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Ilustrasi: PPT Kementerian Keuangan, latar belakang Cukai Kantong Plastik. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN
Asal Mula Cukai Kantong Plastik

Penulis sangat yakini bahwa ide awal adanya Cukai Kantong Plastik (CKP) datang dari PSLB3-KLHK atas terhambatnya pelaksaanaan KPB-KPTG tersebut. 

Maka demi menutup penyalahgunaan wewenang tersebut, maka PSLB3-KLHK menggandeng Kemenkeu untuk mengaburkan KPB-KPTG melalui intrik atau wacana CKP.

Ada empat latar belakang CKP, diantara pada point 2 (dua), disebut perlunya penggantian praktek pemungutan kantong plastik berbayar oleh retailer (Rp. 200/lbr) yang kurang tepat dasar hukum dan pemanfaatannya menjadi pengenaan cukai kantong plastik (CKP).

Kalau SE Dirjen PSLB3 KLHK No. S.1230/PSLB3- PS2016 dianggap lemah dasar hukumnya, kenapa retail anggota dan non anggota APRINDO sejak 2016 sampai 2020 ini menjual terus kantong plastik? Ke mana uangnya, Dana KPB itu harus kembali ke rakyat ?! Aparat penegak hukum sudah seharusnya mengangkat misteri KPB tersebut.

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Strategi lain KLHK dan mitra-mitranya untuk melindungi KPB-KPTG, ditempuhlah berbagai cara, antara lain yang paling menghebohkan adalah PSLB3-KLHK melakukan Lokakarya di Banjarmasin (15-16 April 2018) 

Lokakarya PSLB3-KLHK untuk mendorong Pelarangan Kantong Plastik, Ps-foam dan Sedotan Plastik melalui kebijakan Gubernur, Bupati dan Walikota serta CKP melalui Menkeu. Benar-benar ironis nasib plastik konvensional ini, Karena juga ada dorongan dari industri plastik jenis oxium yang menjadi penumpang gelap dalam penyelamatan KPB.

Bagi yang tidak memahami masalah secara mendalam, memang bisa terkesima dan tidak percaya ada intrik dibalik semua ini. Rapi benar strateginya, karena sengaja cipta motif CKP yang menonjol adalah seakan mencegah plastik merusak bumi alias ramah lingkungan (baca: plastik oxium, penumpang gelap atau manfaatkan momentum KPB-KPTG). 

Muatan besar CKP adalah pengelabuan atau ingin menyembunyikan misteri KPB-KPTG yang dananya sudah mencapai triliunan rupiah sejak Februari 2016 sampai 2020.

Jelas detail atau sumber masalah pokok CKP ini bukan karena penyelamatan bumi tapi ingin menyelamatkan KPB-KPTG dan penumpang gelap bernama plastik oxium, yang juga sebelumnya sudah diterbitkan SNI ecolable. Tapi serapi bagaimanapun kejahatan itu, pasti akan terbongkar pula.

SNI ecolable muncul untuk lebih menjelaskan bahwa oxium itu masuk kategori ramah lingkungan. Belakangan diketahui bahwa SNI ecolable adalah abal-abal juga. Karena tidak satupun jenis plastik yang ramah lingkungan. Semua meninggalkan jejak mikroplastik, termasuk jenis oxium.

Baca Juga: Kebijakan Hoaks Melarang Penggunaan Kantong Plastik

Ilustrasi: Setop Cukai Kantong Plastik, begitu dibutuhkannya masyarakat kantong plastik dan bukan PSP. Sumber: INAPLAS | FB Fajar Budiyono
Ilustrasi: Setop Cukai Kantong Plastik, begitu dibutuhkannya masyarakat kantong plastik dan bukan PSP. Sumber: INAPLAS | FB Fajar Budiyono
CKP Mengebiri Hak Rakyat dan Industri

Begitu gigihnya Menkeu Sri Mulyani, Karena terbius informasi yang tidak akurat dari stafnya. Itu pula berdasar dari PSLB3-KLHK. Beberapa langkah yang ditempuhlah oleh Menkeu, seperti memberi insentif berupa Dana Insentif Daerah (DID) kepada daerah yang berhasil mengurangi sampah Plastik dengan dasar pelarangan penggunaan kantong plastik atau plastik sekali pakai (PSP). Harusnya dana DID tersebut ditarik kembali dari pemda yang telah menerimanya.

Juga Menkeu Sri Mulyani mengusulkan CKP kepada DPR-RI. Tapi kemudian, DPR sepakat memperluas objek cukai menjadi produk plastik seperti seperti botol minuman dan kemasan makanan. Menurut informasi Kemenkeu akan melakukan redesigning policy setelah DPR-RI memperluas sasaran cukai.

DPR-RI tidak mungkin memperluas jangkauan CKP itu bila tidak ada motivasi dari luar. Mana mereka tahu semua itu. Jelas semua ini adalah intrik atau akal bulus untuk menambah tembok penghalang KPB-KPTG agar semakin tenggelam.

Baca Juga: Usulan Cukai Kantong Plastik Disepakati, Ini Fakta dan Datanya

Dalam usulan Sri Mulyani, tarif CKP yang akan dikenakan yaitu Rp. 30 ribu per kilogram atau Rp. 200 per lembar. Dengan begitu, retailer akan mengenakan biaya sekitar Rp 200-Rp 500 per lembar, bagi konsumen yang ingin mendapat kantong plastik.

Sangat jelas adanya CKP ini, akan melindungi KPB-KPTG dan Plastik Oxium. Maka seharusnya Presiden Jokowi menganulir rencana CKP ini karena sarat masalah atau penuh kepentingan yang sangat merugikan rakyat konsumen dan industri bertahan plastik konvensional.

Kemenkeu juga sepertinya tidak memahami bahwa kantong plastik yang akan dikenakan cukai adalah merupakan sebuah komponen jual-beli barang, atau menjadi kewajiban pedagang (baca: penjual barang) untuk menyerahkan barang dagangannya kepada pembeli secara utuh (Baca: Pasal 612 KUH Perdata) disertai kantong belanja. Sementara kantong plastik merupakan bahan termurah dari bahan lain untuk dijadikan alat service pelanggan.

Baca Juga: Sumber Sampah "Perusahaan Produk Berkemasan" Mana Tanggung Jawabnya?

Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani perlu ketahui bahwa solusi sampah plastik bukan dengan cara CKP. Solusi CKP ini merugikan konsumen dan industri. 

Karena dalam UUPS sudah diamanatkan solusi pengelolaan sampah dengan menerapkan beberapa arahan antara lain Pasal 13,14,15, 21,44 dan 45 UUPS.

Kegagalan KLHK dan lintas Kementerian dan Lembaga (K/L) dalam memanage sampah Indonesia atau waste management selama terbitnya UUPS sejak tahun 2018 adalah tidak menjalankan pasal-pasal tersebut. Paling repotnya KLHK hanya habis waktunya mengurus sampah plastik yang jumlahnya sangat minim, dibanding sampah organik yang dominan.

Diminta kepada pemerintah (Presiden Dan DPR-RI) agar membatalkan rencana pengenaan CKP Dan jenis plastik lainnya karena tidak sesuai UUPS, Karena jelas akan menimbulkan resistensi atau gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan/atau Mahkamah Agung bila kelak CKP disetujui dan diberlakukan.

Paling penting dilaksanakan oleh Presiden Jokowi melalui Menteri LHK sebagai leading sektor persampahan adalah segera aplikasi UUPS dengan benar dan jujur. 

Buat sistem dan desain untuk memberikan insentif dan disinsentif dalam rangka mengubah perilaku birokrasi, pengusaha industri dan konsumen. 

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, diharapkan program kelestarian lingkungan, utamanya pengelolaan sampah dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan tata kelola kepemerintahan yang baik.

Surabaya, 6 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun