Masalah yang menjadi fokus protes atau gugatan Green Indonesia Foundation yang tidak masuk akal dalam kebijakan KPB ini adalah:
1) Dana KPB kemana ? Diduga menjadi bancakan korupsi (gratifikasi) oleh oknum penguasa dan pengusaha atas penyalahgunaan wewenang oleh Dirjen PSLB3-KLHK.
2) Dana KPB hasil program plastik berbayar tidak dikelola oleh pemerintah, tetapi dikelola langsung oleh masing-masing pengusaha ritel.
Manajemen dana seperti ini merupakan praktik yang tidak baik ditinjau dari segi tata kelola kepemerintahan (good governance). Apalagi dana pungutan dari rakyat (Baca: Konsumen)Â
3) Sesuai SE KPB, dana plastik berbayar dimasukkan dalam mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR) yang akan diatur oleh masing-masing pengusaha ritel, sangat jelas salah besar.Â
Penggunaan dana kegiatan CSR menimbulkan pertanyaan: Mengapa program CSR harus didanai oleh konsumen?Â
Ketentuan mengenai CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), antara lain dalam UU. Perseroan Terbatas, UU. Penanaman Modal maupun UU. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Â
Bahkan dalam PP. No. 81/2012 dikenal prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) bagi produsen, importir, distributor, maupun retailer dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan.Â
Meskipun program kantong plastik berbayar (KPB) tersebut bertujuan baik, setidaknya terdapat beberapa masalah yang sangat berpotensi menghambat pencapaian tujuannya, karena niatnya sudah melenceng dari tujuannya dalam merubah paradigma kelola sampah plastik.Â
Memang niatnya ingin mempermainkan dana KPB ini, terbukti solusi terbaik sudah diberikan oleh penulis melalui Green Indonesia Foundation secara resmi kepada Dirjen PSLB3 KLHK dengan tembusan lintas menteri. Tapi semua abai, jadi diduga keras ada terjadi perselingkuhan stakeholder dalam KPB-KPTG tersebut.Â