GiF mencoba memutar kemudi solusi agar bisa meramu sistem pengelolaan sampah yang sesederhana mungkin tanpa ada bank sampah dan TPS3R, namun resolusi tetap mengikuti regulasi tanpa ada pelanggaran. Cuma sedikit perlu ada revisi UUPS dan aturan lainnya yang tentu harus mengikat kepada pemangku kepentingan.
Alasan resolusi tata kelola sampah adalah:
- Bank sampah dan TPS3R hanya dijadikan accesories Adipura dan bancakan korupsi oleh oknun pemerintah dan pemda serta kroninya.
- Asosiasi Bank Sampah Indonesia (Asobsi) nampak tidak mampu mengelola organisasinya, sehingga bank sampah seperti anak kehilangan induk.
- Kementerian LHK hanya jadikan Asobsi sebagai tambahan kekuatan atau pelengkap kebijakan alias jadi lembaga pembenaran, bukan mencari kebenaran tata kelola sampah dan begitupun sebaliknya. Sepertinya saling memanfaatkan dalam suasana  kedaruratan sampah Indonesia.Â
- Kementerian PUPR ikut kewalahan dan tidak mampu mengurus TPS3R dan TPA yang dibangunnya sendiri di seluruh Indonesia. Tidak ada sinergitas dengan KLHK. Terjadi mis leading di lapangan.Â
- Lintas asosiasi juga abai terhadap keberadaan bank sampah dan TPS3R. Padahal keduanya saling berkontribusi atau saling membantu.Â
- Perusahaan CSR diduga menjadikan bank sampah sebagai pendukung permainan dana CSR yang melimpah ruah dan tentu diketahui oleh pemerintah dan pemda.
- Beberapa alasan yang krusial lainnya, namun penulis sebagai pengamat tata kelola sampah akan memberi penjelasan bila dibutuhkan oleh stakeholder.
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Resolusi Tata Kelola Sampah
- Hapuskan bank sampah dan TPS3R sebagai pengelola sampah kawasan.
- Serahkan pengelolaan sampah secara nasional (pengawalan program dan manajemen) kepada lembaga nir laba dengan sistem berjaring. Fungsi eksekusi tetap oleh dan/atau pengawasan pemda masing-masing kabupaten dan kota seluruh Indonesia dengan cara pelelangan atau kompetisi terbuka melalui uji program, kompetensi dan sistem tata kelola sampah yang profesional.
- Tertibkan asosiasi berbasis industri daur ulang dan produk berkemasan. Agar bisa menjadi mitra sejajar pemerintah dalam monitoring dan evaluasi (monev) jalannya tata kelola sampah. Sekaligus menjadi penjamin produk ex sampah pada tata nilai ekonomi sampah.
Baca Juga:Â "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi
Keterpaksaan memberi resolusi tata kelola sampah ini, selain alasan diatas juga kondisi TPA sudah operload dan masih open landfill yang seharusnya di setop sejak tahun 2013 (7 tahun lalu). Terjadi resistensi dan penutupan TPA oleh warga terdampak TPA di berbagai daerah di Indonesia.
Sementara TPA menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat dan pemda. Tapi rupanya pemerintah pusat membiarkan masalah berlarut-larut tanpa ada solusi yang komprehensif. Hal ini bisa memancing terjadinya instabilitas dan komplik horizontal atau pemicu ketegangan antar warga terdampak TPA, pemulung, pengusaha daur ulang dan pemda setempat.
Juga terlebih didasari pengamatan GiF atas lemahnya pengelolaan sampah dan asosiasi sepertinya lemah dan lumpuh alias mati akal pada masa darurat pandemi Covid-19. Padahal solusinya sangat gampang bila mereka pada mengerti keberadaannya.
Khususnya kondisi saat ini, sampah dan limbah B3 yang ada di rumah sakit seluruh Indonesia menumpuk tajam dan umumnya perusahaan mitra rumah sakit mundur karena industri daur ulang tidak mengadakan pembelian. Seakan terjadi pembiaran masalah, yang seharusnya tidak terjadi karena adanya asosiasi.
Maka alangkah baik dan bijaknya para pemangku kepentingan untuk mereformasi diri dan karakter untuk setop permainan negatif menuju pengelolaan sampah yang manusiawi tanpa pembohongan dan pembodohan publik.
Surabaya, 20 April 2020