Tanggung jawab produsen yang diperluas, atau biasa disebut dengan Extended Producer Responsibilty (EPR), merupakan suatu mekanisme atau kebijakan dimana produsen produk berkemasan diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah.
Berdasarkan UU. No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), disebutkan pada Pasal 15 bahwa Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Yang dimaksud dengan mengelola kemasan berupa penarikan kembali kemasan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang (Baca: Penjelasan UUPS).
Peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa pelaku usaha atau produsen berkemasan sebagai penghasil sampah, juga memiliki tanggung jawab dalam mengelola sampah atau bagian dari kelompok pengelola sampah.
Sekaitan pasal tersebut diatas, pemerintah telah memutuskan untuk memberlakukan Extended Producer Responsibilty (EPR) secara efektif pada tahun 2022, setelah mengalami penundaan beberapa tahun lalu atas permintaan perusahaan yang berkategori EPR.
Sebenarnya dengan adanya kebijakan EPR ini, pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) tidak perlu risau mencari "pembenaran"solusi sampah secara dengan menyerang industri dan masyarakat untuk melarang penggunaan produk plastik sekali pakai, hanya untuk melindungi kesalahan progres kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG).
KPB dan KPTG itu sama saja setali tiga uang, nomenklatur berbeda tapi maknanya sama, yaitu "menjual kantong plastik". Itu sebuah kebijakan keliru yang membohongi publik.
Paling penting dilakukan pemerintah dan pemda adalah menyiapkan infrastruktur dengan mentransformasi bank sampah sebagai agen EPR untuk menjemput kebijakan tersebut. Serta memberlakukan kembali kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) dengan cara yang benar, bukan mengakali keadaan untuk kepentingan kelompok tertentu atas nama penyelamatan lingkungan dari plastik.Â
Baca Juga: Kelola Sampah Tanpa TPA, Kenapa Takut? PKPS, Koperasi Sampah Berbasis Multipihak
Kebijakan KPB ini sesungguhnya lebih memungkinkan diberlakukan, sepanjang mengikuti norma regulasi, dari pada mengeluarkan kebijakan yang sungguh tidak mendidik dengan melarangan penggunaan kantong plastik, PS-Foam, sedotan plastik, impor scrap palstik sampai pada rencana pemberlakuan cukai plastik untuk mengganti kebijakan KPB-KPTG.Â
Sangatlah tidak masuk akal dalam antisipasi permasalahan sampah dengan cara melarang penggunaan produk plastik sekali pakai (PSP), karena melanggar Pasal 15 UUPS (baca dan simak penjelasan Pasal 15 pada UUPS). Malah akan menimbulkan masalah baru dalam sektor persampahan dan industri manufaktur berbasis daur ulang. Kebijakan ini pula akan menghambat alur investasi di Indonesia, baik investasi lokal maupun investasi asing.