Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Subyektivitas Anies Merevisi Perda Sampah Jakarta

25 Januari 2020   01:17 Diperbarui: 25 Januari 2020   09:04 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau lokasi lautan sampah di Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (19/3/2018).(KOMPAS.COM/Ardito Ramadhan D)

Peraturan Daerah (Perda) DKI. Jakarta No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, merupakan perda pertama yang dibuat oleh Jokowi-Ahok pada saat menjadi Gubernur DKI. Jakarta. Perda ini sebenarnya sudah sangat bagus, tapi Gubernur Jakarta Anies Baswedan merevisi secara subyektif menjadi Perda No. 4 Tahun 2019, yang hanya bertujuan untuk memuluskan rencana pembangunan dan pengelolaan ITF-PLTSa di Jakarta. Maka dapat diprediksi bahwa perubahan perda ini berpotensi digugat oleh masyarakat. 

Pemerintah Provinsi (Pemprov), Gubernur dan DPRD DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perda No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah yang telah diundangkan tanggal 23 September 2019.

Dasar pertimbangan merevisi oleh Pemprov. DKI Jakarta, karena menganggap Perda No. 3 Tahun 2013 tidak sesuai. Padahal sangat jelas bahwa Perda No. 4 Tahun 2019 hanya untuk memuluskan proyek sampah dengan konsep ITF (intermediate treatment facility ) di Jakarta yang semuanya akan dikerjakan oleh PT. Jakarta Propertindo (Jakpro).

Seharusnya Perda No. 3 Tahun 2013 tidak perlu direvisi bila hanya ingin menerapkan atau membangun pengelolaan sampah dengan output energy atau waste to energy (W2E) PLTSa atau ITF. Karena akan lebih menyempitkan diri Pemprov. DKI Jakarta dalam pengelolaan sampah kawasan. Termasuk akan mengebiri peluang bank sampah dalam kinerjanya sebagai wakil pemerintah dan pemerintah daerah (pemda).

Sebagaimana amanat UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) pada Pasal 13 dan 45 yang mewajibkan pengelola kawasan untuk memilah sampahnya. Jelas Perda No. 4 Tahun 2019 itu keluar dari amanat UUPS, perda yang subyektif dan dipaksakan, tanpa sosialisasi yang transparant. Hanya untuk kepentingan pengusaha besar untuk monopoli pengelolaan sampah.

Sangat jelas revisi Perda No. 4 Tahun 2019 atas Perda No. 3 Tahun 2013 melanggar UU. No. 18 Tahun 2008 yang mengamanatkan pengelolaan sampah kawasan berbasis masyarakat, dengan strategi penanganan sampah dengan circular economy. 

Sementara Perda No. 4 Tahun 2019 lebih mendorong penanganan sampah dengan monopolistik oleh pengusaha besar atau pola konglomerasi yang tetap mengedepankan cara lama dengan penanganan sampah secara sentralisasi. Seharusnya sampah dikelola dengan desentralisasi. 

Baca juga:
Muluskan ITF, Pemprov DKI Dorong Revisi Perda Pengelolaan Sampah.
Bahas Bantargebang di Paripurna, Anies Revisi Perda Sampah

Dalam revisi Pasal 1 Point 37 pada Perda No. 3 Tahun 2013 tertulis "Badan usaha di bidang kebersihan adalah pelaku usaha yang diberikan izin untuk melakukan kegiatan pengelolaan sampah" dan pada Perda No. 4 Tahun 2019 tertulis "Badan usaha adalah pelaku usaha yang diberikan izin dan/atau mendapat penugasan dan/atau melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk melakukan kegiatan pengelolaan sampah"

Tersirat Perda No. 4 Tahun 2019 tersebut akan mengarahkan pengelolaan sampah dikerjakan oleh badan usaha tertentu alias tunggal. Tentu secara subyektif akan diberikan kepada PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai badan usaha milik Pemprov. DKI yang sejak tahun 2016 ambisi untuk mengerjakan PLTSa di Sunter Jakarta bersama mitra investornya dari luar negeri. 

Sangat jelas bahwa Jakpro akan menjadi mediator (perantara) saja, karena Jakpro tidak dalam kapasitasnya mengerjakan atau bukan spesifikasinya dalam pengelolaan sampah.

Ilustrasi: Petunjuk Pengelolaan Sampah Jakarta. Sumber: Pemprov. DKi. Jakarta
Ilustrasi: Petunjuk Pengelolaan Sampah Jakarta. Sumber: Pemprov. DKi. Jakarta
Termasuk dalam Perda No. 4 Tahun 2019 untuk mengarahkan pembiayaan untuk bebannya diberikan kepada APBD, kelihatan mengarahkan atau membangun celah lalu lintas tipping fee atas pelaksanaan pengelolaan sampah oleh badan usaha tertentu melalui revisi perda. Kondisi ini terbaca pada Pasal 1 yang telah ditambahkan angka 42, 43, 44, 45 dan 46 di Perda No. 4 Tahun 2019.

Perda No. 4 Tahun 2019 ini sangat subyektif membegal Perda No. 3 Tahun 2013 yang sudah sesuai UU. No. 18 Tahun 2008 Dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga, yang mengedepankan pengelolaan sampah kawasan berbasis komunal orientasi ekonomi. Berdampak pada pencitraannya lapangan kerja baeu berbasis sampah.

Begitu pula dengan adanya Perda No. 4 Tahun 2019 ini akan mengabaikan keberadaan bank sampah sebagai wakil pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam perubahan paradigma kelola sampah di masyarakat. Termasuk akan menghilangkan mata pencaharian pelapak dan pemulung sampah. Termasuk akan merusak dan mengancam kelangsungan usaha industri daur ulang.

Selain melanggar regulasi induk pengelolaan sampah (UUPS). Juga beberapa kekeliruan terjadi dalam Perda No. 4 Tahun 2019 ini yang tidak mengambil dasar dan/atau mengabaikan Permen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce , Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah dan juga Permen PU No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga. Kedua permen diatas tidak ada tercantum dalam revisi perda.

Lebih parah lagi karena Perda No. 4 Tahun 2019 ini masih mencantumkan Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Dimana Permendagri tersebut telah dicabut oleh Mendagri pada tanggal 19 April 2016 yang ditandai dengan terbitnya Permendagri No. 20 Tahun 2016 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Daerah Tahap III.

Baca juga:

Anies Teken Pergub Larangan Kantong Plastik Sekali Pakai

Sampah plastik terbanyak di Jakarta berbentuk styrofoam, Pergub DKI soal plastik sekali pakai 'tak akan signifikan'

Jakarta Melarang Kantong Plastik. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 142 Tahun 2019. Peraturan ini mengatur tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan Pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.

Pergub itu sudah ditetapkan tanggal 27 Desember 2019 dan berlaku mulai 1 Juli 2020. "Berlaku efektif 6 bulan sejak diundangkan". Nampak bahwa Anies dan jajarannya tidak memahami masalah keberadaan plastik. Begitu pula kurang mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada plastik yang ramah lingkungan dan kantong plastik itu bukan tergolong plastik sekali pakai. 

Pelarangan kantong plastik sekali pakai tertuang dalam Pasal 5 yang berisikan sebagai berikut:

(1) Pengelola Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat wajib menggunakan Kantong Belanja Ramah Lingkungan.

(2) Terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat dilarang menggunakan Kantong Belanja Plastik Sekali Pakai

Pertayaannya "Dari mana Toko dan Pasar Rakyat bisa mendapatkan kantong belanja yang ramah lingkungan? " Beginilah repotnya pengelola negara bila tidak faham masalah, lalu menerbitkan kebijakan publik. Jelas semua akan merepotkan para pihak yang berkaitan dengan masalah tersebut. 

Perlu diketahui bahwa kantong belanja tidak ada yang tergolong ramah lingkungan kecuali kantong plastik konvensional yang umum dipergunakan masyarakat dan pedagang pasar. Karena jenis kantong plastik tersebut dapat di daur ulang. Pada kondisi dapat di daur ulang itulah yang bisa disebut sebagai ramah lingkungan secara obyektif. 

Menteri LHK Melakukan Pembiaran

Keberanian subyektifitas Pemprov. DKI. Jakarta Merevisi Perda 3 Tahun 2013 itu terbaca akibat adanya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa) atas pengganti Perpres No. 18 Tahun 2016 yang dicabut oleh Mahkamah Agung.

Perpres  masih terganjal beberapa masalah, salah satunya adalah ketersediaan dana pemerintah daerah untuk biaya layanan pengolahan sampah (tipping fee). Maka KLHK menerbitkan Permen LH No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019tentang Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Padahal Permen LH tersebut belum final mendapat subsidi tipping fee, hanya kesiapan KLHK merekomendasi kepada pemda yang akan membangun PLTSa untuk meminta dana tersebut di Kementerian Keuangan. 

Seharusnya kalau memang pemerintah serius membangun PLTSa tanpa memperhitungkan azas manfaat dan lainnya. Terbitkan saja kesepahaman bersama lintas menteri atas kesiapan memberi subsidi tipping fee. 

Janganlah membuat aturan yang mengada-ada. Solusi sampah itu harus dilihat pula dari dimensi sosial ekonomi dan bukan Semata pada dimensi ekologi atau lingkungan secara sempit.

Pengelolaan sampah di Indonesia semakin kacau-balau dan tidak menentu dan tidak punya sistem karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seakan membiarkan saja kesalahan dan kekeliruan yang terjadi di daerah-daerah. Bukan malah mencari solusi yang komprehensif. Pada kondisi ini, bisa disebut bahwa terjadi persekongkolan terstruktur dan massif. 

Semua solusi sifatnya instan dan kepentingan kelompok semata. Diduga keras ada oknum KLHK yang bermain dibalik issu sampah dan khususnya sampah plastik, agar kesalahan fatal atas kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) bisa teredam dengan adanya muncul issu plastik dan/atau issu ramah lingkungan. Agar dana KPB-KPTG yang nilainya triliunan rupiah itu bisa selamat dipermainkan oleh oknum penguasa dan pengusaha.

Kondisi atas misteri KPB-KPTG inilah menjadikan banyak penumpang gelap yang "memanfaatkan" issu sentral bertema "ramah lingkungan". Termasuk pemda menjadikannya sebagai pelindung permainan atas kebobrokan pengelolaan sampah di wilayah otonomi masing-masing. Antara lain agar pemda tetap berparadigma lama dengan full melakukan pengelolaan sampah di TPA/TPST.

Permainan demi permainan dilakonkan oleh oknum pemerintah dan pemda yang didukung oleh sebagian besar oknum LSM, Pemerhati sampah dan lingkungan berskala lokal, regional dan nasional, bahkan NGO Internasional banyak mendukung langkah oknum penguasa dan pengusaha dalam negeri untuk melancarkan aksinya. 

Sumber utama issu plastik sebenarnya adalah KPB-KPTG sejak tahun 2016 dan penumpang gelapnya juga banyak bermunculan kemudian seperti kebijakan larangan kantong plastik, styrofoam atau PS-Foam, kemasan air mineral, sedotan plastik oleh beberapa pemda, sampai kepada maraknya impor sampah.

Issu plastik ikut menciptakan bancakan korupsi dimana-mana, seperti adanya proyek Aspal mix Plastik dengan pengadaan ratusan unit mesin cacah plastik dari Kementerian PUPR. Aspal mix plastik ini ikut dimanfaatkan oleh oknum perusahaan yang memiliki dana CSR besar dengan bekerjasama oknum pemerintah dan pemda serta suplier bahan baku kantong plastik dari perusahaan daur ulang. Bahan bakunya bukan dibeli dari hasil pilahan masyarakat atau komunitas pemulung dan bank sampah.

Tidak ada sinergitas dalam solusi sampah pada seluruh Kementerian dan Lembaga (K/L) yang ada dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis ejenis Sampah Rumah Tangga. Ada K/L yang bergerak dan ada yang diam menunggu. Ada K/L yang berlebihan terlalu percaya diri atau overconfident.

Permainan kotor atas issu plastik sejak tahun 2016 berjudul "ramah lingkungan" seharusnya dihentikan saja. Karena juga tidak membuahkan hasil sesuai harapan para pemain, sutradara dan penulis skenarionya yang tersebar posisinya diberbagai komunitas yang saling ingin memanfaatkan situasi darurat sampah Indonesia.

Mari kembali ke jalan yang benar sesuai tuntunan agama masing-masing dan kaidah regulasi sampah yang benar. Hentikan mengobok-obok regulasi sampah (UUPS).  Karena masih ada kelompok kecil yang bisa menahan dan melawan laju kekuasan yang besar bersinergi itu. 

Sudah diketahui bahwa kemitraan antar kepentingan itu tanpa aturan tertulis. Saling kedip mata saja untuk berjuang dijalur yang berbeda. Tapi perjuanganmu akan sia-sia karena bermaksud menyakiti rakyat, rakyat adalah suara Tuhan Ymk. Subahanallah.

Jakarta, 25 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun