Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Lingkaran Setan Solusi Sampah Plastik Indonesia

9 Januari 2020   10:55 Diperbarui: 9 Januari 2020   16:00 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penggunaan kantong plastik berisi sampah di salah satu TPS di Ciracas Jakarta Timur sebelum sampah diangkut ke TPST Bantargebang Bekasi. Sumber: Dokpri.

Pernyataan Dirjen PSLB3 KLHK sangat keliru dan tidak memahami masalah dengan peningkatan peradaban dan bagaimana harusnya menciptakan solusi sampah. Juga tidak memahami hakekat sinergitas K/L dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Jaktranas Sampah. 

"Kita siapkan dana insentif daerah untuk Pemda yang (berhasil) mengurangi sampah," kata Vivien di Istana Wakil Presiden Jakarta, (8/7/2020). Ya benar Bu Dirjen, tapi insentif itu memang kewajiban pemerintah. Tapi mengurangi sampah bukan melarang penggunaan produk itu. 

Malah seharusnya Dirjen PSLB3 KLHK memberi insentif kepada pemulung, pelapak, pengelola sampah atau bank sampah bersama industri daur ulang yang selama ini beraktifitas mengurangi dan mengelola sampah. Padahal semua sudah diatur dalam Pasal 21 UUPS. Tapi yang diiming-iming insentif adalah pemda yang melarang kantong plastik. Bukankah itu sebuah tindakan subyektif ? 

Sebijaknya Ibu Vivien meluruskan kebijakan KPB-KPTG yang bermasalah sejak ditinggalkan Ibu Tuti Hendrawati Mintarsih mantan Dirjen PSLB3 KLHK. Jangan dibiarkan begitu saja, karena jelas akan menjadi masalah besar dikemudian hari. 

Harap buka dan baca solusi yang telah kami Green Indonesia Foundation berikan ke Ditjen PSLB3 KLHK ahir 2016 lalu dan telaah bersama lintas K/L dan asosiasi kompeten. Jangan menambah masalah diatas masalah. Triliunan rupiah hasil penjualan kantong plastik oleh ritel pasar modern sejak 2016 sampai sekarang. Kemana uang itu ? Pastilah rakyat akan kejar dana KPB-KPTG itu. 

Aneh, satu sisi KLHK membiarkan penjualan kantong plastik sejak 2016 sampai sekarang dan dilain sisi mendorong pelarangan penggunaan kantong plastik. Seharusnya aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dan penyidikan (lidik/sidik) atas kebijakan yang kontra produktif.

Baca juga:
Mulai 1 Juli, Pemprov DKI Larang Swalayan & Pasar Tradisional Pakai Kantong Plastik
Sah! Gubernur Anies Larang Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Pelarangan Berbuah Resistensi

Banyak kalangan protes kebijakan pelarangan ini, mulai dari masyarakat, dunia usaha industri daur ulang plastik sampai pada para pedagang pasar rakyat ataupun pasar modern. 

Bagi mereka, peraturan itu dinilai akan menyusahkan karena belum ada alternatif pengganti kantong plastik. Juga sama saja pemerintah dan pemda menyuruh pedagang melanggar hukum atas kewajiban penjual yang harus menyiapkan kantong belanja secara gratis (pelayanan konsumen). Walau sesungguhnya tidak gratis, karena nilainya diakumulasi pada barang jualannya. 

Para pedagang menganggap pengganti kantong plastik yang diarahkan pemerintah seperti tas belanja yang bisa digunakan berulang kali menyulitkan pembeli dan dirinya sebagai pedagang. Pakai apa nanti kalau tidak pakai kantong plastik. Kantong plastiklah sebagai wadah yang umum dan murah, serta ramah lingkungan karena kantong plastik 100% dapat di daur ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun