Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ini Penyebab Indonesia Darurat Sampah

1 Januari 2020   00:03 Diperbarui: 1 Januari 2020   00:44 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Darurat sampah Indonesia terjadi bukan karena soal teknis tapi lebih kepada sikap oknum birokrasi yang lalai jalankan regulasi sampah ahirnya berdampak negatif pada waste management yang kacau-balau" Asrul Hoesein, Direktur Eksekutif Green Indonesia Foundation Jakarta

Sejak pemerintah (Presiden dan DPR) menerbitkan aturan dan pedoman dalam pengelolaan sampah berupa Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Sampai detik ini belum ada tanda serius dari pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) untuk menjalankan amanat regulasi persampahan.

Dua tahun setelah UUPS diundangkan, muncul Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Berjalan dua tahun UUPS dan Permendagri No. 33 Tahun 2010, masih ada kekurangan dalam pengelolaan sampah hotel, mall, pasar, industri. (diundangkan 7 Juni 2010)

Karena sampah di kawasan khusus belum menjangkau regulasi yang ada, maka demi komprehensif sistem pengelolaan sampah, Presiden dan DPR menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. (diundangkan 15 Oktober 2012)

Pada tahun yang sama terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah (diundangkan 29 Januari 2013)

Lalu disusul Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. (diundangkan 21 Maret 2013)

Lengkap sudah regulasi yang mengatur pengelolaan sampah domestik Indonesia selain telah siap sebelumnya regulasi yang mengatur limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) melalui PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) beserta beberapa regulasi turunannya.

Tata Kelola Sampah Tanpa Kemendagri

Kondisi persampahan Indonesia semakin tidak menentu setelah Permendagri  No. 33 Tahun 2010 di CABUT oleh Mendagri pada tanggal 19 April 2016 yang ditandai dengan terbitnya Permendagri No. 20 Tahun 2016 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Daerah Tahap III. Mendagri juga tidak faham masalah sampah dan solusinya. 

Padahal Permendagri No. 33 Tahun 2010 ini menjadi "Kekuatan pemerintah daerah dan masyarakat serta dunia usaha dalam Pengelolaan Sampah Kawasan" melalui Pembentukan Kelompok Pengelola Sampah, pemda bisa jadikan sampah sebagai sumber PAD baru. Ahirnya tata kelola sampah atau waste management menjadi kacau-balau sampai sekarang.

Apa Substansi Regulasi Sampah ?

UUPS memerintahkan dengan tegas atau "wajib" mengelola sampah di kawasan timbulannya atau keharusan mengelola sampah di rumah tangga atau sejenis rumah tangga. Perintah wajib itu tertuang pada Pasal 45 UUPS. 

Jadi sampah bukan lagi dibawa ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA). Hanya sekitar 20% sampah dibawa ke TPA berupa residu dari sisa pengelolaan di sumbernya.

Paling penting harus dikerjakan oleh pemerintah dan pemda setahun setelah UUPS diundangkan adalah membuat perencanakan "Penutupan TPA" dan hal tersebut tertera dalam Pasal 44 UUPS. Berarti harus diaplikasi sejak sepuluh tahun lalu (2009).

Pemerintah dan pemda memang aneh dalam mesalah sampah, karena tidak mau tahu dan abai terhadap regulasi dengan alibi tidak menjalankan pasal tersebut serta melakukan pembiaran. Akibatnya bukan hanya sampah organik dan anorganik yang bermasalah, tapi juga limbah B3 ikut menggangu lingkungan.

Apa Makna Mendasar Penutupan TPA ?

Sekitar 438 TPA dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia memiliki TPA dan semuanya harus melakukan penutupan TPA dan sebelumnya membuat Master Plan serta Detail Engineering Design (DED) untuk selanjutnya membangun Landfill sejak 2009 di TPA.

Sebagai catatan bahwa untuk kategori kota kecil-sedang, pemda harus membangun Control Landfill dan kota besar-metropolitan serta megapolitan seperti Jakarta membangun Sanitary Landfill. Dalam perencanaan dan pembangunan landfill di TPA tersebut, pemda akan dibantu pendanaan oleh pemerintah pusat atau melalui Kementerian PUPR.

Namun apa yang terjadi, sampai hari ini hampir pasti belum ada daerah yang benar-benar menjalankan penutupan TPA dan masih melakukan pengelolaan sampah dengan cara Open Dumping di TPA. Padahal regulasi sudah perintahkan open dumping TPA harus stop sejak tahun 2013 (amanat PP.  No. 81 Tahun 2012). Hal tersebut merupakan pelanggaran besar yang dilakukan pemerintah dan pemda.

Apa Manfaat Landfill ?

Kegunaan Control Landfill dan Sanitary Landfill tersebut sesuai Pasal 44 UUPS untuk menampung residu sampah atas sisa-sisa sampah yang tidak dikelola oleh masyarakat atau dunia usaha pada sumber timbulannya (sesuai amanat Pasal 13 dan Pasal 45 UUPS). 

Jadi residu pengelolaan sampah kawasan termasuk limbah B3 dari rumah sakit dll itu seharusnya dibawa ke landfill oleh transporter Limbah B3 atau perusahaan atau pemda yang ditugasi mengangkut residu sampah.

Jelas semua ini bermaksud atau berorientasi pada pengelolaan sampah di sumber timbulannya berbasis komunal dan bukan lagi fokus mengelola sampah secara sentralisasi di TPA atau bukan membangun TPA gaya baru seperti mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang sentralistik. Tapi harus ada sinergitas pengolahan sampah hulu dan hilir. 

Fakta kegagalan PLTSa sudah menunjukkan bukti dibeberapa daerah baik yang sudah dan sementara dibangun, atau yang masih dalam perencanaan, hampir semua menampakkan ketidakpastian mengatasi sampah. Kelihatan dalam pembangunan PLTSa itu terjadi keraguan didalamnya. Berarti ada yang salah atau keliru besar atas PLTSa. 

Misalnya PLTSa Merah Putih Bantargebang Bekasi milik Pemerintah Provinsi Jakarta yang dibangun oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan mitranya. Sampai saat ini pembangkit listrik sampah di Bantargebang tersebut belum beroperasional sejak diresmikan bulan Maret 2019 oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Macam-macam cara dilakukan pemerintah dan pemda dalam mengatasi sampah termasuk sampah plastik. Seperti Proyek Aspal mix Plastik, semua itu tidak masuk akal dan hanya akan menjadi bancakan korupsi anggaran pemerintah atau pemda dan berpotensi pula terjadi penyalahgunaan dana CSR yang menjadi sponsor proyek imposible tersebut. 

Baca juga: Menko Luhut resmikan pembangkit listrik sampah Bantargebang Bekasi Jokowi Sampai Luhut Kesal Soal PLTSa Mandek, Ini Sebabnya.

Ilustrasi: Strategi Kelola Sampah Rumah Tangga Berbasis Regulasi UUPS. Sumber: Dokpri
Ilustrasi: Strategi Kelola Sampah Rumah Tangga Berbasis Regulasi UUPS. Sumber: Dokpri
Apakah Pemerintah dan Pemda Melanggar UU. Adminiatrasi Pemerintahan ?

Sesungguhnya tidak ada alasan pemerintah dan pemda untuk tidak menjalankan regulasi sampah khususnya Pasal 13,44 dan 45 UUPS ? Karena bisa saja rakyat menggugat berdasar Undang-Undang No. 30 Tahun 2014.Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Sangat jelas hak dan kewajiban pengelola negara atau sebagai pelayan masyarakat.

UUAP dimaksudkan sebagai salah satu instrumen hukum bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.

Tapi kenapa oknum-oknun pejabat birokrasi leading sector berani melanggar aturan tersebut. Diduga disebabkan beberapa hal diantaranya masih minim pemahaman masyarakat tentang regulasi dan pemahaman umum tentang persampahan. Sehingga oknum tersebut berani berbuat di luar norma. Karena merasa tidak ada yang mengerti dan memantau. 

Bila Pasal 13,44 dan 45 UUPS dilaksanakan dengan baik, maka diduga beberapa sumber permainan curang akan terhenti. Seperti proyek pengadaan  barang dan jasa dalam persampahan yang tidak sesuai peruntukannya atau tidak berasas manfaat. Artinya peluang untuk mempermainkan dana sampah alias korupsi tertutup. 

Termasuk permainan dana tipping fee, biaya angkutan sampah, dana subsidi atau hibah bank sampah, pengadaan prasarana dan sarana persampahan serta permainan dana kompensasi warga terdampak TPA yang diduga pula banyak tidak sampai pada rakyat yang berhak tapi dipermainkan oleh oknum pejabat di daerah.

Dalam pelaksanaan Pasal 13,44 dan 45 UUPS, memang terjadi gesekan kepentingan. Kalau tidak dijalankan regulasi maka sampah tetap bermasalah dan berpotensi terjadi korupsi sepanjang masa. Sementara kalau dijalankan, pengelola sampah akan mendapat insentif (Pasal 21 UUPS). Hal ini semua dihindari oleh oknum pemda yang menangani sampah. 

Sampai saat ini belum ada pengelola sampah menikmati insentif atas Pasal 21. Hal ini menjadi pelanggaran pemerintah dan pemda karena tidak memberi haknya kepada rakyat atau pengusaha yang mengelola sampah.

Pemerintah dan pemda hanya selalu menuntut haknya tanpa memenuhi kewajiban sebagai regulator dan fasilitator. Hanya menyalahkan dan menuntut masyarakat untuk jalankan kewajiban tanpa memberi insentif atas haknya sebagai  pengelola sampah di sumber timbulannya.

Hal inilah menjadi pertarungan kepentingan oknum birokrasi, asosiasi, pengusaha dan masyarakat, sehingga Pasal 13,44 dan 45 serta Pasal 21 UUPS tidak dilaksanakan dengan benar dan berintrgritas sampai hari ini. Makanya, Indonesia masih terjadi darurat sampah

Baca juga: Regulasi | Refleksi Ahir Tahun 2019 Pemerintahan Jokowi Menyoal Listrik Sampah, BPPT Keliru Sikapi Sampah dan PLTSa

Ilustrasi: TPA di Indonesia umumnya menjadi tempat ternak sapi. Sumber: Dokpri
Ilustrasi: TPA di Indonesia umumnya menjadi tempat ternak sapi. Sumber: Dokpri
Dibutuhkan Integritas Dalam Urusan Sampah

Jangan coba dan berani bermain curang dalam urusan sampah. Bisa jadi akan tergilas dan termakan oleh sampah, ahirnya sampah menjadikan manusia pengelolanya itu akan seperti sampah yang tidak bernilai atau menjadi manusia sampah.

Bukan cuma sampah yang harus dipilah, tapi manusia perlu dipilah yang jujur dan yang tidak neko-neko mengurus sampah. Harus yang berintegritas, harus memiliki pribadi jujur dan memiliki karakter kuat untuk tidak berspekulasi mempermainkan dana sampah yang berpotensi datang dari berbagai sumber.

Perhatikan sudah mulai jarang muncul elit-elit atau stakeholder yang berani bicara atau menulis di media tentang solusi sampah, apalagi kampanye larangan plastik. Umumnya mereka sudah tiarap tersandera atau menyandera dirinya. Mungkin mulai capek dan sadar akan kekeliruan berpikir dan bertindak selama ini.

Kembalilah ke jalan yang benar, tidak ada abadi dalam hidup kecuali perubahan itu sendiri. Jangan malu berubah. Perubahan dan inovasi adalah sebuah keniscayaan. Mari semua sadar bahwa manusia lahir atas kolaborasi dari perbedaan. Begitu pula solusi dari sebuah masalah akan tercipta atas kolaborasi dari perbedaan yang menyatu.

Masalah sampah di Indonesia bukanlah soal ketidakpatuhan rakyat dan/atau terkendala teknologi. Tapi kendalanya adalah oknum birokrasi yang menjadi biang keroknya karena tidak taat regulasi dan tetap ingin monopoli sampah untuk dibawa ke TPA. Rakyat sudah faham semua kebobrokan dalam urusan sampah. 

Anehnya pemerintah pusat melakukan pembiaran pada pemda dan menjust masyarakat yang tidak patuh. Padahal mereka sendiri yang tidak patuh.

Solusi sampah cuma satu adalah kedepankan kerjasama lintas kementerian atau kelompok dan masyarakat lalu prioritaskan kepentingan rakyat diatas segalanya. 

Ingat bahwa produsen sampah adalah manusia (baca: rakyat). Maka sebuah keniscayaan melibatkannya rakyat secara utuh, bukan hanya sandiwara atas nama rakyat belaka.

Bone, 1 Januari 2020

Berita terkait:

  1. "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi.
  2. Di Mana Komitmen Presiden Jokowi dalam Menjalankan Regulasi Sampah?
  3. Telaah Keberadaan Kelembagaan Bank Sampah di Indonesia.
  4. Apa PR Besar Presiden Jokowi dalam Bidang Pertanian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun