Hidup di dunia itu hakekatnya mandiri. Kalau ia berdosa itu karena dosanya sendiri dan bukan karena memikul dosa orang lain. Kalau ia tertimpa bencana, juga akibat perbuatannya sendiri. Tuhan tidak sama sekali mendzalimi manusia, melainkan manusia sendiri yang menganiaya dirinya sendiri. [QS.Asy-Syura (42) : 30]
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menggelar rapat koordinasi melakukan pertemuan di Jakarta, kamis (12/12) untuk membahas sampah laut.
Dalam pertemuan itu pemerintah mengeluarkan pembaruan data tentang sampah di lautan, yang akan digunakan untuk mendukung tercapainya target pengurangan 70 persen sampah laut nasional pada 2025 mendatang. Seharusnya pertemuan itu menghadirkan Kementerian PUPR dan Kementerian Pertanian, kalau tidak bisa menghadirkan seluruh stakeholder atau kementerian dan lembaga yang ada dalam Jaktranas Sampah.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mengungkapkan adanya estimasi data global pada 2015 yang menyebutkan Indonesia menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah plastik di dunia. Namun, estimasi itu menggunakan data secara global, bukan nasional.
Hasil yang didapatkan tidak cukup untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya serta hanya fokus pada sampah laut tanpa membahas sumber masalahnya. Karena itu kita butuh mengestimasi secara komprehensif dengan mengunnakan data nasional," jelas Sit Nurbaya dalam rilis yang dikeluarkan Biro Hubugan Masyarakat (Humas) KLH, Jumat (13/12/2019).
Kenapa baru saat ini Kementerian LHK sadar setelah menggunakan data global yang bisa dikategorikan sebagai data akademis dari Jenna Jambeck itu sebagai dasar kebijakan nasional Kantong Plastik Berbayar (KPB-KPTG) pada awal tahun 2015 dan dana KPB-KPTG itu masih misterius. Sangat jelas dan pasti bahwa Menteri LHK tidak memahami masalah sampah secara makro yang terjadi di Indonesia. Ahirnya terjadi kekosongan solusi atau kebijakan yang keliru sampai sekarang.
Tidak ada bisa disesalkan, karena penulis melalui Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta berulang kali mengingatkan KLHK melalui Ditjen PSLB3 agar melaksanakan amanat regulasi Pasal 13,44 dan 45 Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) untuk mendorong pemerintah daerah (Pemda), pengelola kawasan serta masyarakat agar melaksanakan regulasi tersebut. Apapun solusi yang dijalankan KLHK bila tidak taat pada regulasi tsb, semua akan lumpuh dan menjadi bengkalai saja.
Indonesia berencana untuk menerapkan kebijakan yang bertujuan membatasi penggunaan plastik sekali pakai dalam upaya untuk mengurangi limbah plastik laut. Peraturan yang akan mulai berlaku pada awal tahun 2020 ini mewajibkan produsen pengemasan untuk mengurangi setidaknya 30 persen dari produksi sampah plastik mereka dalam 10 tahun.
![Ilustrasi: Penulis survey salah satu kegiatan pemulung dan pelapak pada TPA Benowo Surabaya. Sumber: Dokpri.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/12/15/img-20191215-162125-jpg-5df5fccfd541df118c603262.jpg?t=o&v=770)
Benar sudah pemerintah pusat sudah kehilangan akal sehat dan kebingungan dalam mengatasi sampah. Lagi Indonesia kembali akan menerapkan kebijakan pembatasan plastik sekali pakai untuk mencapai target pengurangan 70% limbah plastik di laut.Â
Namun potret penanggulangan sampah di Indonesia masih miris dan tidak tersistem. Mampukah realisasikan target tersebut dengan hanya penuh wacana tanpa laksanakan amanat regulasi ?
Pemerintah dan pemda masih saja berputar-putar pada wacana solusi yang berganti alias berputar-putar kalimat atau prasa antara "pelarangan dan pengurangan plastik"Â sejak 4 tahun lalu sampai sekarang. Bukan menyorot sampah secara makro. Tapi hanya menyoroti penggunaan dan pelarangan produk plastik, bukan pengurangan sampah.
Mungkin Pak Luhut Binsar Pandjaitan (Menkomaritim dan Investasi) beserta stafnya tidak memahami bahwa issu plastik sekali pakai (PSP) ini diangkat ke permukaan hanya ingin menutup dugaan atau indikasi terjadinya unsur korupsi (gratifikasi) pada kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB-KPTG) yang diberlakukan sejak 2016 sampai sekarang oleh Kementerian LHK melalui asosiasi ritel di Indonesia. Terjadi pembiaran penjualan kantong plastik tanpa rasa berdosa pada rakyat (baca: memungut dana konsumen tanpa pertanggung jawaban).Â
Mana komitmen Presiden Jokowi yang pro rakyat, sementara rakyat dijadikan kelinci percobaan atas issu plastik. Presiden Jokowi harus tuntaskan masalah KPB-KPTG tersebut dengan berbarengan pelaksanaan pengelolaan sampah kawasan atas aplikasi Pasal 13,44 dan 45 UUPS. Output dari strategi dan sistem ini akan terjadi efisiensi dana APBN/D serta terjadi optimalisasi dalam pengelolaan sampah secara komprehensif dan terukur serta menciptakan sumber PAD baru bagi pemda yang melaksanakannya.Â
![Ilustrasi: Sketsa solusi sampah kawasan oleh Green Indonesia Foundation -GiF- Jakarta. Sumber: Dokpri.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/12/15/img-20191215-162147-jpg-5df5fdc8d541df2b711fd253.jpg?t=o&v=770)
Aneh bin ajaib, karena klhk dan lintas menteri sudah diberikan solusi untuk atasi semua itu secara tertulis dari Green Indonesia Foundation (GiF), tapi masih tetap saja berputar pada sumbunya alias stag tanpa solusi. Justru sangatlah sederhana dan ringan bawaannya bila pemerintah dan pemda jalankan regulasi dengan benar dan berkeadilan serta tidak pilih kasih alias hindari konsfirasi negatif yang korup serta stop solusi subyektifitas terhadap keberadaan plastik.
Justru penulis memandangnya ringan masalah sampah ini bila elit KLHK serta lintas menteri ataupun Presiden Joko Widodo berniat menyelesaikan masalah sampah yang berkepanjangan. Tapi nampak niat itu tidak ada. Demikian temuan penulis atas fakta yang terjadi di seluruh Indonesia. Harusnya Presiden Joko Widodo mengevaluasi total atas progres Perpres 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah.
Hanya yang berat adalah bila sesungguhnya elit-elit birokrasi pusat dan daerah tersebut tidak ingin menerima kritisi dan solusi kebenaran. Hanya senang menerima solusi pembenaran yang sifatnya ABS dan AIS. Jadi tidak benarlah pemerintah pusat mengharap input dari relawan atau lembaga swadaya yang kritis dan solutif. Faktanya tidak legowo dikritisi dan menerima solusi.
Jadi jelas indikasinya sangat terbaca bahwa ada masalah yang ingin ditutupi, yaitu beberapa masalah di persampahan ini seperti dugaan gratifikasi atas kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG), mandeknya proyek PLTSa dibeberapa daerah, pengadaan mesin cacah pada Proyek Aspal Mix Plastik, Proyek Pusat Daur Ulang yang tersebar dibeberapa kota besar dan metropolitan.
Pemda Dianggap Kecil Kontribusinya.
Gemas dan lucu saja penjelasan pemerintah pusat  ??? Menganggap pemda yang dianggap relatif kecil perannya dalam solusi sampah... Ya Benar satu sisi. Tapi pertanyaannya kenapa pemda demikian, karena pemerintah pusat (KLHK) juga tidak taat pada regulasi sampah yang ada. Hanya fokus mengurus sampah plastik. Sementara sampah organik yang dominan, luput dari solusi dan pembahasan.
Tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga mengadakan penelitian tentang indeks kepedulian masyarakat pada sampah dan hasilnya kepedulian masyarakatsangat rendah. Seharusnya BPS juga melakukan riset tentang tingkat kepedulian pemerintah dan pemda. Riset harus proporsional (sebanding) dan jangan sepihak saja.
Karena menurut subyektifitas penulis atas hasil temuan dilapangan. Justru pemerintah dan pemda yang tidak konsisten alias tidak peduli menjalankan regulasi (UUPS). Hanya peduli pada hal kecil alias subyektif pada urusan plastik. Itupun keliru !!! Karena lebih mendorong pada pelarangan atau pembatasan produk. Bukan pada pembatasan atau pengurangan sampah.
Faktanya, Â 438 TPA yang ada di 514 Kab/Kota 99% masih melakukan pola open dumping dan seharusnya sejak 2013 pola open dumping itu harus stop. Karena Pasal 44 UUPS mengamanatkan untuk melakukan perencanaan penutupan TPA pada tahun 2009, setahun setelah UUPS diundangkan.
Seharusnya pemerintah pusat cq: KLHK dan PUPR mendorong pemda membangun Control Landfill untuk Kota Kecil/Sedang dan Sanitary Landfill untuk Kota Besar atau Metripolitan dan Megapolitan untuk menampung residu sampah yang tidak mampu diselesaikan di tingkat kawasan (Pasal 13 dan 45 UUPS).
Termasuk untuk menampung residu limbah B3 dari Rumah Sakit pada tempat pemusnahan di landfill tersebut. Bukan lagi harus dimonopoli oleh pengusaha besar atas limbah B3 itu untuk dibawa ke Pulau Jawa dimusnahkan. Jadi seharusnya 438 TPA di Indonesia melaksanakan amanat Pasal 44 UUPS.
![Ilustrasi: Sampah bertumpuk di pinggir jalan sebelum ke TPA. Sumber: Dokpri.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/12/15/img-20191215-162254-jpg-5df5ff6c097f36122e2e8902.jpg?t=o&v=770)
Kemenkomaritim sebagai Kordinator Nasional Jaktranas Sampah (Perpres 97/2017) seharusnya mendorong masyarakat, pengusaha dan sekaligus pemda melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) lintas menteri atau sekalian Perpres agar dengan tegas melaksanakan Pasal 13,44 dan 45 UUPS. Hal ini berulang penulis input kepada pemerintah pusat dan daerah (resmi dan tidak resmi) di berbagai pertemuan Nasional dan Regional termasuk pada lokal pemda kabupaten dan kota.
Kalau pasal-pasal itu dijalankan dengan jujur dan berkeadilan (penegakan hukumnya tegas) danjangan setengah hati tapi full dan serius, maka otomatis kemampuan daerah akan meningkat tajam dalam mengelola sampahnya dan termasuk rakyat akan patuh/peduli dan juga diyakini bahwa kreatifitas pemda dan rakyat akan meningkat signifikan.
Termasuk dalam mengantisipasi sampah laut. Bukan persoalan yang susah, asal saja pemerintah dan pemda berkomitmen jalankan regulasi sampah. Cuma kelihatan terjadi kesenjangan dan kesengajaan para elit yang tidak inginkan perubahan mendasar atas pengelolaan sampah yang benar di republik ini. Karena tetap ingin mempertahankan penanganan sampah di TPA yang mis regulasi. Karena dengan methode kompensional ini, diduga banyak dana-dana sampah yang mudah dipermainkan.
Solusi sampah laut itu pula, penulis sudah memberikan dan menyerahkan atau menitip solusi itu pada Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar pada ahir tahun 2018 untuk disampaikan pada pemerintah pusat termasuk untuk diaplikasi pada program KKN Tematik ke semua perguruan tinggi di Indonesis dan awal tahun 2019 Unhas telah melakukan lokakarya tingkat Nasional atas usulan solusi tersebut dan telah menghasilkan Deklarasi Makassar. Namun lagi-lagi Deklarasi Makassar itu belum ada follow up dari pemerintah dan pemda termasuk dari Unhas sendiri sebagai pelaksana lokakarya.
Kesimpulan sementara penulis melalui Green Indonesia Foundation (GiF) yang aktif mengawal regulasi sampah dan penanganan tata kelola sampah atau waste management di Indonesia ini adalah hampir semua stakeholder yang terlibat dalam persampahan ini tidak niat laksanakan regulasi. Baik itu pemerintah pusat, pemda, Â perguruan tinggi, asosiasi atau lembaga swadaya lainnya, yang hanya inginkan solusi semu tidak bersistem. Hanya bicara datar dan parsial semata dalam forum-forum tanpa meninggalkan jejak progres positif di lapangan.
Nah itu salah siapa ? Rakyat atau Pemerintah dan Pemda. Sesungguhnya siapa yang tidak peduli Bro/Sis.
Surabaya, Â 15 Desember 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI