Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sampah Plastik Tidak Ramah Tanah

23 Agustus 2019   04:15 Diperbarui: 23 Agustus 2019   04:20 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Issu plastik yang muatan intinya adalah keinginan sebuah kelompok besar yang majemuk meminta pemerintah dan pemda melarang penggunaan kantong plastik. Sebenarnya pesan utama hanya untuk kantong plastik yang terlanjur ingin dibangun pertahanannya agar tidak runtuh. Sungguh ulet bertahan.

Namun kemudian agar strategi lebih halus maka dimunculkan skenario larangan baru berupa ps-foam yang dimulai dari Bandung, tapi ahirnya didiamkan juga karena salah melarang dan selanjutnya muncul lagi bersama sedotan plastik.

Jelas semua terbaca dengan kasat mata, agar bisa menyembunyikan fokusnya pada kantong plastik. Ingat bahwa asesoris ditubuh itu kadang tepat dan kadang pula salah pakai. Justru akan merusak penampilan si pemakai. Itulah fenomena kantong plastik. Ingat bahwa kejahatan tidak ada yang sempurna.

Istilah halusnya pelarangan kantong plastik ini adalah diet kantong plastik, padahal sesungguhnya adalah ingin menjual kantong plastik tanpa ada yang mengusiknya. Maka muncullah kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) cq: Ditjen PSLB3 KLHK dengan bantuan pemikiran sederhana dari eksternal pemerintah.

Kekurangan kita adalah tidak cerdas bekerjasama untuk menciptakan ide yang membumi ditengah kekayaan sumber daya alam. Semua merasa pintar, padahal mereka sebenarnya sadar berbuat salah. Ahirnya hukum sosial berlaku.

Pada bulan Desember 2015, muncullah rencana dan persiapan Kantong Plastik Berbayar (KPB) yang ditandai keluarnya Surat Edaran (SE) KPB pertama. Pada SE KPB pertama itu melibatkan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Selanjutnya bulan Pebruari 2016 muncul SE KPB kedua tanpa melibatkan lagi pemda, hanya mengirimi surat dari hasil pertemuan semu. Hanya berdasar pada sebuah kesepahaman oleh KLHK sebagai penerbit kebijakan dengan beberapa lembaga perlindungan konsumen dan juga asosiasi pengusaha retail alias toko modern yang menjadi ujung tombaknya.

SE KPB kedua inilah merupakan awal eksekusi KPB dengan alasan uji coba kantong plastik berbayar (KPB) dan beberapa bulan berjalan kena tzunami protes, maka berganti baju menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) dan sampai sekarang tahun 2019 tetap berjalan sebagai uji coba itu. Walau pernah beberapa retail stop dan dilanjutkan lagi per 1 Maret 2019. Aneh ya ????

Anehlah... Management of crisis, tiba masa tiba akal. Strateginya menjadi kalang kabut. Karena satu sisi terjadi pelarangan kantong plastik, tapi dilain sisi terjadi penjualan kantong plastik dengan atas nama mengurangi sampah. KLHK tetap membiarkan retail memungut atau memetik uang rakyat (Baca: Konsumen). Strategi mengurangi sampah yang keliru memaknai reduce (pengurangan), karena melarang penggunaan produk bukan sampah. Kebobrokan dalam berpolitik.

Tanpa sedikitpun merasa bersalah memungut uang kantong plastik itu. Malah ada anggapan penjualan kantong plastik tersebut merupakan bentuk perdagangan biasa (profit center). Benar-benar gila dan tidak waras. Anehnya banyak asosiasi dan lembaga swadaya no coment dan sepertinya membenarkan pungutan tersebut. Mungkin hanya penulis yang menentang keras kebijakan KPB-KPTG itu.

Resistensi terhadap KPB-KPTG terus bergulir yang seiring dimunculkannya varian-varian solusi sampah oleh pemerintah pusat yang dimotori oleh KLHK dan dibantu oleh pihak luar antara lain; muncul wacana PPn Daur Ulang, Aspal Mix Plastik, Cukai Plastik sampai kepada mendorong pemerintah daerah (pemda) mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik.

Paling sadisnya lagi Kementerian Keuangan dengan mudahnya mengeluarkan kocek rakyat dengan memberi hadiah berupa Dana Insentif Daerah (DID) pada pemda yang berhasil menghalau kantong plastik dengan cara melarang menggunakan dan lebih parah ada pemda yang melarang memproduksi kantong plastik.

Bukan Ramah Lingkungan

Issu plastik terus menggelinding seperti gasing mainan tempo doeloe, sejak maret 2016 diduga hanya untuk menutup resistensi atau mengalihkan perhatian dari KPB-KPTG ke issu lebih luas yaitu ramah lingkungan. Tapi lagi-lagi salah memaknai ramah lingkungan yang ada dalam regulasi.

Berbagai cara dengan kemampuan oknum-oknum yang sangat luar biasa kekuatannya dan saling mendukung satu sama lain dalam ruang ketidak sepakatan secara tertulis antara penumpang resmi dan penumpang gelap. Karena masing-masing kepentingannya berbeda, namun ingin melewati jembatan yang sama.

Memang carut marut terjadi, akibat ada elit yang pergi dan ada yang datang ke kursi panas yang sama. Sungguh parah kondisi ini, karena keduanya tidak saling sapa, sepertinya saling jaga jarak. Malah dengan keluguannya mempertontonkan dirinya dalam lorong yang terang benderang disertai angin sepoi-sepoi basah. Semoga tidak basah dengan fulus yang panas. Karena bisa saja meledak pada waktu yang tidak diduga.

Oknum-oknum saling mendukung dalam produk berbeda dengan tujuan yang sama atas nama atau memplesetkan arti ramah lingkungan. Ingin memenuhi kepentingan kelompok atas nafsu monopoli dan sekaligus mengamankan dugaan abuse of power. Oknum tersebut sangat mudah terdeteksi. Karena memang senyatanya, terjadi penyalahgunaan wewenang. Ciloko kalau itu benar terjadi.

Mereka saling memanfaatkan atau terjadi adanya penumpang gelap dari issu plastik. Maka menjadi ramai dan semakin viral pelarangan kantong plastik yang ahirnya dibalut lagi dengan baju baru bermerk Plastik Sekali Pakai (PSP).

Tapi dengan memakai baju baru PSP, justru menjadikan kebijakan pelarangan kantong plastik malah lebih labil. Tentu mereka salah strategi. Karena mereka tidak sadar bahwa jenis PSP ternyata lebih banyak jenisnya mewarnai produk yang diperdagangkan.

Malah justru melemahkan posisi kantong plastik yang tidak berkategori PSP dan lagi pula kantong plastik termasuk layak daur ulang (LDU). Disini pula terjadi kegagalan proyek aspal mix plastik dengan pengadaan ratusan mesin cacah oleh Kementerian PUPR dengan maksud mendukung beberapa proyek di berbagai kota tersebar di Indonesia. Semuanya gagal termasuk proyek PLTSa.

Sesungguhnya KLHK dan kementerian lainnya serta pemda yang mengeluarkan larangan kantong plastik sangat keliru dalam memaknai atau menyebut PSP tidak ramah lingkungan. Seharusnya mereka mesti menggantinya dengan kalimat "tidak ramah tanah". Buah simalakama terjadi, senjata makan tuan dan puan sendiri. Bicara ramah lingkungan tapi maknanya ramah tanah.

Seharusnya memakai istilah "tidak ramah tanah" bukan "ramah lingkungan", kalau alasannya plastik itu bisa hancur dengan masa 500 tahun atau berapa ratus tahun baru hancur diatas tanah. Mungkin maksudnya arahan si pemain issu plastik itu bisa hancur secara alami dalam pemaknaanya sebagai ramah lingkungan... ya bila plastik dibuang atau bersentuhan dengan tanah. Bukan karena didaur ulang. Karena kalau daur ulang, maka terjadi ramah lingkungan. Tapi mereka punya asumsi ke ramah tanah.

Kalau memakai istilah ramah lingkungan sebagaimana yang tertulis dalam regulasi. Maka plastik tetap ramah lingkungan karena memang sampah dilarang dibuang ke tanah tapi seharusnya dikelola atau di daur ulang atau di guna ulang alias tetap dimanfaatkan. Itulah makna ramah lingkungan (versi regulasi).

Jadi sebenarnya oknum pemerintah dan pemda yang mendorong pelarangan kantong plastik atau PSP itu karena tidak ramah tanah bukan tidak ramah lingkungan. Maka disarankan, sebaiknya merubah saja slogan PSP itu dengan tidak ramah tanah.

Karena oknum penguasa tersebut berkuasa absolut, maka sebaiknya istilah ramah lingkungan dalam regulasi direvisi saja menjadi ramah tanah. Biar sekalian monopoli saja atau makan semua sampah plastik itu, biar semua puas sebelum berhadapan aparat penegak hukum.

Zaman milenial tentu rakyat Indonesia semakin bertambah kecerdasan dan wawasannya. Tapi pada faktanya, elit bangsa ini mempertaruhkan harga dirinya ditengah cahaya terang benderang. Artinya rakyat diperhadapkan pada kemunduran berpikir dan bertindak sebagai pelayan, bagaikan zaman dahulu saat sebelum muncul mbah google di dunia maya. Ternyata zaman feodal raja-raja tetap terbawa sampai sekarang.

Sebenarnya kadang malu juga pada orang-orang asing yang ingin membantu permasalahan sampah di Indonesia. Dalam pantauan sejak tiga tahun lalu sampai sekarang. Kelihatan mereka bingung juga menyaksikan bangsa ini memutar balik makna ramah lingkungan bila disandingkan dengan regulasi. Banyak menampakkan diri lebih merasa Indonesia dibanding orang Indonesia sendiri.

Mereka fokus ingin membantu Indonesia termasuk ingin investasi. Karena seriusnya, sering mengajari atau mengambil contoh regulasi dari negaranya. Padahal regulasi sampah Indonesia, lebih bagus. Namun bangsa ini tidak taat saja pada aturan yang dibuatnya.

Umumnya mungkin berpikir bangsa Indonesia ini bodoh dalam urusan sampah. Tapi dilain sisi, tentu mereka membaca situasi atau adanya pro-kontra antar anak bangsa.

Saat ini mereka dipastikan sudah dapat membaca bahwa bangsa Indonesia itu sesungguhnya cerdas dan sulit dibodohi. Namun sayangnya banyak anak bangsa yang menggadaikan kecerdasannya demi sesuatu... Naudzubillah Min Dzalik.

Jakarta, 23 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun