Kurang seminggu lagi umat Islam di seluruh dunia dan terkhusus di Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1440 H. Hari Kemenangan bagi umat Islam setelah menjalankan ibadah puasa. Kemenangan dalam arti kembali pada fitrahnya bagaikan bayi tanpa dosa.
Salah satu tradisi yang menjadi kebiasan dilakukan masyarakat "kebanyakan" di Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri ialah tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman masing-masing. Mudik dengan membawa cerita "kesuksesan" di rantau.
Sebuah tradisi yang hanya ada di Indonesia, mudik secara serentak. Sehingga macet total terjadi di mana-mana. Belum lagi kerawanan atas kejahatan cukup meningkat. Rumah ditinggalkan kosong. Maka yang melakukan mudik, harap berhati-hati. Jaga dan antisipasi kejahatan, bila perlu jangan kosongkan rumah. Siapkan bekal mudik (pergi-pulang) secukupnya.Â
Usahakan jangan membawa banyak uang tunai. Tapi lebih tepatnya menggunakan BCA Mobile Banking yang bisa menarik uang di ATM tanpa kartu. Jelas tidak ribet dengan m-BCA dan aman terkendali (Klik cara daftar BCA Mobile Banking).
Mudik Lebaran, Jakarta Menjadi SepiÂ
Sebagaimana yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, bahwa puncak kepadatan arus mudik diprediksi terjadi mulai kemarin tanggal 1 Juni 2019. Pegawai negeri sipil (PNS) atau Aparatur sipil negara (ASN) baru akan diliburkan usai upacara Hari Lahir Pancasila. Memang fakta kemarin Jakarta sudah mulai sepi.
Puluhan juta urban society akan mudik ke kampung halaman. Diprediksi sekitar 40-60% warga Jabodetabek akan mudik ke berbagai daerah di Indonesia. Berbagai moda kendaraan yang akan dipergunakan para pemudik, kendaraan pribadi dan kendaraan umum (udara, laut dan darat).
Meski mudik banyak suka dukanya, tapi senyatanya dianggap menjadi momen penting yang ditunggu-tunggu para perantau. Namun, tentu saja segala hal juga akan dilakukan demi berkumpul bersama keluarga di hari kemenangan nan fitri tersebut.
Semua jenis moda kendaraan memasang harga tiket bervariasi. Diantara harga tiket pesawat dan bus yang melambung tinggi, tiket kereta yang sedetik ludes, dan berjubelnya manusia di pelabuhan-pelabuhan penyeberangan, ini yang terjadi. Tiket melalui online sedikit sulit, sepertinya ada "calo" yang booking tiket.
Tidak terhitung pula banyaknya perusahaan dan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan promosi dan pelayanan atau program mudik gratis sampai pada program mudik aman untuk komunitas atau mudik berkelompok.
Berlebaran di kampung halaman sesungguhnya sedikit berbeda di kota-kota besar. Seperti suasana silaturahim yang sangat kental. Hal tersebut yang berbeda dengan berlebaran di Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia. Memang senyatanya penduduk yang bekerja di kota-kota besar umumnya pendatang.
Berlebaran di Ibu kota, hampir sama saja suasananya pada hari-hari biasa. Silaturahmi atau saling kunjung mengunjungi antar rumah tetangga sangat susah dirasakan. Terkecuali anak-anak yang banyak berkelompok mendatangi rumah ke rumah hanya untuk mengejar amplop atau menerima angpau atau uang lebaran.
Keluarga Tidak Ada Tradisi Mudik
Sebenarnya dalam tradisi keluarga kami, sejak orang tua masih hidup mengajarkan agar tidak berparadigma pada "mudik lebaran" tapi "mudik sesuai kesempatan" yang ada dalam kurun waktu 12 bulan dalam setahunnya.Â
Orang tua kami memberi contoh langsung. Pasca lebaran baru kami dibawa bersilaturahim di kampung-kampung. Mengunjungi sanak-saudara. Saat lebaran kami banyak istirahat di rumah dan menerima tamu-tamu tetangga dan sahabat lainnya.
Begitu juga dalam tradisi nyekar ke makam "kuburan" keluarga. Tidak pada hari-hari tertentu seperti nyekar menghadapi lebaran atau sesudah lebaran. Tapi melakukan nyekar sesuai kesempatan saja, sama seperti saat lebaran dengan tidak adanya tradisi mudik.
Itulah paradigma berpikir dan bertindak di keluarga kami dari Bugis. Tapi ini bukan umum terjadi di Suku Bugis. Sepertinya jarang terjadi seperti pola berlebaran tanpa mudik ini. Memang langka. Tapi kami merasakan "suka" dan manfaat lebih banyak dengan tradisi "tidak" mudik saat lebaran tersebut.
Namun kami merasakan sebuah tindakan positif bila tidak ikuti tradisi mudik tersebut yang berlaku secara umum. Artinya ada kebebasan perasaan saat masa menjelang lebaran. Tidak ada rasa kurang enak di kampung bila tidak mudik. Karena memang sudah menjadi kebiasaan saja.
Memang diakui bahwa tradisi mudik mempunyai nilai-nilai positif. Tapi kenyataannya banyak meninggalkan beban atau kesan negatif juga di banding positifnya. Itu pemikiran subyektif yang ada di keluarga kami. Memang hal ini merupakan sebuah perbedaan besar dibanding kebiasan orang banyak di Indonesia. Kami merasakan banyak positifnya untuk tidak mudik saat lebaran.
Banyak yang memaksakan diri dalam menghadapi mudik lebaran. Harus menyiapkan macam-macam untuk persiapan pulang kampung, hanya semata hendak dikatakan berhasil di rantau. Umumnya kondisi "merasa berhasil" ini terjadi dalam suasana keinginan untuk mudik.
Ada yang memaksakan diri untuk mudik. Padahal itu terjadi beberapa hari saja, sehingga banyak yang terpaksa mengambil utang. Paksa diri beli kendaraan baru atau rental demi nampak atau hendak dikatakan berhasil di rantau oleh keluarga atau sahabat di kampung halaman.
Saya terlahir pada sebuah kampung di Kabupaten Bone - Tanah Bugis - Provinsi Sulawesi Selatan dan istri lahir dan bekerja di Jakarta - Tanah Betawi - ibu kota NKRI. Praktisnya kami hingga saat ini atau berdomisili di Jakarta.
Tahun lalu kami sempat mengajak keluarga mudik lebaran Idul Fitri 1439 H di Makassar. Pada saat itu karena kehendak pekerjaan, yang mengharuskan istri saya menyusul "lebaran" di Makassar. Jadi bukan sesungguhnya kesengajaan mudik. Tahun ini Insya Allah tidak akan mudik dan kemungkinan besar tetap berlebaran di Jakarta. Walau semua itu masih tentatif.
Namun yang pasti bahwa tidak ada rasa kebimbangan untuk tidak mudik. Karena itu memang bukan menjadi tradisi kami. Apalagi baru saja kemarin kebetulan ada kegiatan bisnis di Makassar, jadi sepertinya sudah merasa lega bertemu dengan keluarga di kampung halaman. Terasa sudah mudik untuk bertemu keluarga di bulan Ramadan.
Dalam perasaan bebas karena memang tidak mudik, itu bukan karena tidak bisa berbagi di kampung. Tapi memang sebuah kondisi yang kami sengaja melakukan perubahan dan diharapkan agar tradisi mudik lebaran ini tidak berlaku bagi keluarga kami. Tapi yang berlaku adalah mudik sesuai kesempatan yang ada padanya.
Bisa saja kami mudik berkali-kali dalam setahun, bisa pula sama sekali tidak mudik dalam setahunnya. Itulah merupakan suka dan duka. Tapi yang pasti kami tidak merasa terbebani "perasaan negatif" bila tidak mudik lebaran. Tradisi kami ini, bagi sebagian besar orang tidak menerimanya. Tapi kami merasa senang-senang saja.
Satu hal yang pasti kami rasakan "suka-duka" berlebaran di Jakarta hanya kendaraan tidak macet dan sangat menikmati sepinya Jakarta hanya pada saat lebaran. Masa sepi itu sekitar tiga hari sebelum dan sesudah lebaran.
Selain tulisan ini kami peruntukkan untuk #thr2019hari28 #samberthr dan sidang pembaca kompasiana. Juga melalui tulisan ini, kami di Jakarta mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1440 H bagi keluarga dan sahabat-sabahat di kampung halaman. Insya Allah kita akan bersilaturahim dan bertemu pada hari-hari berikutnya.
Bagaimana pendapat Anda, beranikah berubah untuk tidak mudik saat lebaran ? Coba nikmati sisi positifnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H