Menurut Prof. Dr. Akbar Tahir, Guru Besar Universitas Hasanuddin - UNHAS - Makassar, paling penting adalah kolaborasi antara para pihak dalam pelaksanaan plastic waste clean-up yang sebagian hasilnya harus masuk proses daur ulang.Â
Program penyadaran masyarakat tentang dampak sampah plastik harus secara terencana dilakukan, dan harus terus dilakukan dan bukan merupakan program jangka pendek dan terkesan pencitraan saja.
"Bila semua ini dilaksanakan dengan baik dan secara bersunguh-sungguh, maka target Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jakstranas Sampah dan Perpres No. 83 Tahun 2018 Tentang Penanganan Sampah Laut. Dapat terlaksana, sehingga pengurangan sampah plastik di laut tahun 2025 bisa tercapai atau paling tidak mendekati target-target tersebut". Tambah Prof. Akbar pada laman FaceBooknya.
Indonesia bukan hanya darurat sampah, tapi lebih parah lagi terjadi darurat regulasi. Artinya, regulasi persampahan tidak dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dengan benar dan berkeadilan. Padahal regulasi sampah sangat bagus. Diduga keras terjadi pembiaran, demi memuluskan rencana tidak etis dari oknum tertentu.Â
Ahirnya pengelolaan sampah lumpuh, karena negara tidak hadir dan oknum elit penguasa di"tenggelam"kan oleh issu plastik dan tidak mampu hadir "melerai" debat kusir oleh antar pihak yang masing-masing mempertahankan pendapat dan kepentingan. Tanpa mempertimbangkan lagi dasar perundangan pengelolaan sampah. Semoga kelak tidak benar-benar tenggelam atas ulahnya sendiri.
Presiden Jokowi harus segera mengevaluasi pelaksanaan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) khususnya Pasal 13, 44 dan 45. Pasal-pasal tersebut merupakan kunci pelaksanaan tata-kelola sampah atau waste management yang bersih dan berwibawa (Good Governance). Sejak diundangkan UUPS pada tahun 2008, pasal-pasal tersebut tidak tersentuh secara profesional. Memang pasal-pasal ini pro rakyat dan akan meminimalisir korupsi.
Mengamati dan menganalisa strategi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) cq: Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3) sejak ahir 2015 sampai dengan 2019. Sungguh memprihatinkan dalam menemukenali masalah dan solusi pengelolaan sampah. Hanya berputar-putar saja pada wacana plastik sekali pakai.
Termasuk dengan semangatnya Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya membentuk Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Tingkat Nasional (DP3TN) pada tanggal 14 Juni 2016. Tapi sampai saat ini DP3TN tersebut tidak menunjukkan kinerja sesuai keberadaannya. Juga lumpuh total termakan issu plastik. DP3TN sama nasibnya bank sampah yang mati suri. Harusnya DP3TN dibubarkan saja, dari pada dipakai sebagai power oleh oknum-oknum tertentu untuk pencitraan.
Bukan menyelesaikan masalah tata-kelola sampah atau waste manajemen secara profesional. DP3TN memang dari awal, penulis menduga hanya bermaksud mengawal kebijakan KLHK tentang pengurangan dan penanganan sampah plastik yang telah mendapat pro-kontra. Termasuk penulis memprotes keras kebijakan menjual kantong plastik, tanpa mengembalikan dananya kepada masyarakat.
Awal mula solusi sampah plastik adalah munculnya Surat Edaran (SE) Menteri LHK Nomor S.71/MENLHK-II/2015 tentang Langkah-langkah Pengelolaan Sampah. Khususnya dalam butir "pengurangan dan penanganan sampah plastik"
Terbitnya SE Menteri LHK, lalu terbit SE No. SE.06/PSLB3-PS/2015 Tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) Pada Usaha Ritel Modern (17/12/2015) yang ditanda tangani oleh mantan Dirjen PSLB KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih.
Selanjutnya KLHK bekerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dan beberapa lembaga (BPKN, YLKI) melaksanakan uji coba KPB dengan SE No. S.1230/PSLB3-PS/2016 Tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar Pada Usaha Ritel Modern min Rp.200 (uji coba 1, 17/02/2016). Selanjutnya disusul beberapa kali SE yang dikeluarkan oleh mantan Dirjen PSLB3 KLHK.
Setelah KPB berjalan beberapa bulan, muncul resistensi dari publik. Kemudian APRINDO menghentikannya pada tanggal 1 Oktober 2016 karena alasan dasar hukumnya lemah. Lebih mengherankan APRINDO (1/3/2019) tanpa menyelesaikan dana KPB sebelumnya, dengan berani menjalankan kembali KPB dengan mengganti nama programnya menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) dengan hanya berdasar pada kesepakatan anggotanya peritel saja? Tapi tentu atas kesepakatan KLHK, karena SE KPB yang lalu belum pernah dicabut.
(Baca: Kantong Plastik Berbayar Blunder Presiden Jokowi)
Menelusuri perjalanan kebijakan KLHK dalam mengatasi - solusi - sampah plastik sejak tahun 2015 sampai sekarang dengan mendukung kebijakan Pemda dalam mengeluarkan Peraturan Gubernur dan Peraturan Walikota tentang larangan penggunaan Kantong Plastik, PS-Foam dan Sedotan Plastik. Sungguh ironis masalah ini, karena sesungguhnya banyak kemasan PSP lainnya yang dibiarkan.
Kelihatan ada kenderungan atau indikasi untuk menutup atau mengalihkan perhatian atas dugaan adanya gratifikasi (KKN) atas dana KPB-KPTG yang telah dipungut oleh ritel modern dari konsumennya sejak tahun 2016. Bahkan saat ini, di Surabaya kebijakan tersebut "dipaksakan" masuk ke pasar tradisional. (Baca: Siap-siap Larangan Penggunaan Plastik akan Menyasar Pasar Tradisional).
APRINDO juga perlu diberi pemahaman tentang amanat regulasi sampah. Sepertinya tidak mengerti masalah sampah yang mendera bangsa. Malah diduga oknum-oknum tertentu "memanfaatkan" situasi yang carut-marut dan sangat berpotensi terjadi pelanggaran pidana khusus (gratifikasi).
Dana KPB yang lalu saja belum dipertanggungjawabkan. Kemana dana itu ? Lalu melanjutkan lagi program KPTG. Sungguh keterlaluan dalam memetik dana dari masyarakat (baca: konsumen), dengan alasan penyelamatan lingkungan.
Begitu gigihnya KLHK dalam mengendorse pelarangan plastik. Sampai muncul "dukungan atau apresiasi" Direktur Pengelolaan Sampah PSLB3 KLHK Dr. Novrizal Tahar dengan hastag #MulaiTanpaSedotan "seakan" mengapresiasi gerakan "Tanpa Sedotan"Â yang dilakukan oleh restoran cepat saji McDonalds di Indonesia.
Padahal sangat jelas gerakan tanpa sedotan tersebut diendors oleh pemerintah dan/atau pemda. Tidak mungkin McDonald dengan sendirinya melakukan hal yang menjadi kebutuhan konsumennya. Tanpa ada seruan atau larangan penggunaan sedotan plastik dari pemerintah dan pemda sendiri.
Menteri LHK beserta jajarannya, sepertinya tidak peduli pada amanat regulasi UUPS. Diduga Menteri Nurbaya hanya menerima laporan "asal ibu senang" dari para pembantu-pembantunya di PSLB3. Sehingga menurut saja melakukan sebuah kesalahan fatal atas solusi sampah dan sampah plastik.
Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya Bakar beserta seluruh pembantunya, hanya sibuk mengurus pelarangan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik dengan segala cara tanpa memperdulikan UUPS. Ditengarai akan mengendorse puluhan pemda untuk "memaksa" untuk melarang kantong plastik.
Termasuk KLHK mendorong beberapa solusi kepada menteri-menteri terkait. Kesemuanya diduga hanya untuk menutup misteri KPB-KPTG antara lain adalah PPn Daur Ulang Plastik, Proyek Aspal Mix Plastik Cukai Kantong Plastik. Tapi hasilnya juga tetap nihil, hanya menciptakan resistensi di masyarakat dan dunia usaha serta industri DUP dan muncul pergub/perwali pelarangan produksi, distribusi dan memakai kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik.
Karena memang dasarnya sudah keliru dari awal. Semoga ke depan tidak menjadi senjata makan tuan sendiri. Karena program KPB-KPTG ini berpotensi masuk pada ranah pidana khusus (pidsus), dimana masalah tersebut bukanlah hal sederhana. Tapi sangat riskan karena sudah menyentuh perut rakyat.
Semakin tidak menentu strategi pengelolaan sampah di daerah-daerah, hal tersebut diduga keras karena kinerja Ditjen PSLB3 KLHK dalam menyikapi pengelolaan sampah dalam fungsi kebijakan. Tidak bekerja secara profesional berbasis regulasi. Hanya bekerja pada tataran mikro, yaitu hanya mengejar solusi insidentil tanpa punya program bersifat makro untuk dilaksanakan pemda.
Memang sangat membingungkan KLHK sejak pemerintahan Presiden Jokowi dibawah Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya. Tidak ada terobosan dan kinerja yang nampak untuk menyelesaikan masalah sampah Indonesia.Â
Menjadi catatan penting buat Presiden Jokowi agar Menteri LHK kedepan dipilih yang benar-benar faham tentang lingkungan dan persampahan. Terutama menteri yang bersedia mendengar dan menerima pendapat publik. Bukan hanya menerima pendapat atau laporan "asal ibu senang" dari pembatunya yang mau menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H