Terbitnya SE Menteri LHK, lalu terbit SE No. SE.06/PSLB3-PS/2015 Tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) Pada Usaha Ritel Modern (17/12/2015) yang ditanda tangani oleh mantan Dirjen PSLB KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih.
Selanjutnya KLHK bekerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dan beberapa lembaga (BPKN, YLKI) melaksanakan uji coba KPB dengan SE No. S.1230/PSLB3-PS/2016 Tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar Pada Usaha Ritel Modern min Rp.200 (uji coba 1, 17/02/2016). Selanjutnya disusul beberapa kali SE yang dikeluarkan oleh mantan Dirjen PSLB3 KLHK.
Setelah KPB berjalan beberapa bulan, muncul resistensi dari publik. Kemudian APRINDO menghentikannya pada tanggal 1 Oktober 2016 karena alasan dasar hukumnya lemah. Lebih mengherankan APRINDO (1/3/2019) tanpa menyelesaikan dana KPB sebelumnya, dengan berani menjalankan kembali KPB dengan mengganti nama programnya menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) dengan hanya berdasar pada kesepakatan anggotanya peritel saja? Tapi tentu atas kesepakatan KLHK, karena SE KPB yang lalu belum pernah dicabut.
(Baca: Kantong Plastik Berbayar Blunder Presiden Jokowi)
Menelusuri perjalanan kebijakan KLHK dalam mengatasi - solusi - sampah plastik sejak tahun 2015 sampai sekarang dengan mendukung kebijakan Pemda dalam mengeluarkan Peraturan Gubernur dan Peraturan Walikota tentang larangan penggunaan Kantong Plastik, PS-Foam dan Sedotan Plastik. Sungguh ironis masalah ini, karena sesungguhnya banyak kemasan PSP lainnya yang dibiarkan.
Kelihatan ada kenderungan atau indikasi untuk menutup atau mengalihkan perhatian atas dugaan adanya gratifikasi (KKN) atas dana KPB-KPTG yang telah dipungut oleh ritel modern dari konsumennya sejak tahun 2016. Bahkan saat ini, di Surabaya kebijakan tersebut "dipaksakan" masuk ke pasar tradisional. (Baca: Siap-siap Larangan Penggunaan Plastik akan Menyasar Pasar Tradisional).
APRINDO juga perlu diberi pemahaman tentang amanat regulasi sampah. Sepertinya tidak mengerti masalah sampah yang mendera bangsa. Malah diduga oknum-oknum tertentu "memanfaatkan" situasi yang carut-marut dan sangat berpotensi terjadi pelanggaran pidana khusus (gratifikasi).
Dana KPB yang lalu saja belum dipertanggungjawabkan. Kemana dana itu ? Lalu melanjutkan lagi program KPTG. Sungguh keterlaluan dalam memetik dana dari masyarakat (baca: konsumen), dengan alasan penyelamatan lingkungan.
Begitu gigihnya KLHK dalam mengendorse pelarangan plastik. Sampai muncul "dukungan atau apresiasi" Direktur Pengelolaan Sampah PSLB3 KLHK Dr. Novrizal Tahar dengan hastag #MulaiTanpaSedotan "seakan" mengapresiasi gerakan "Tanpa Sedotan"Â yang dilakukan oleh restoran cepat saji McDonalds di Indonesia.
Padahal sangat jelas gerakan tanpa sedotan tersebut diendors oleh pemerintah dan/atau pemda. Tidak mungkin McDonald dengan sendirinya melakukan hal yang menjadi kebutuhan konsumennya. Tanpa ada seruan atau larangan penggunaan sedotan plastik dari pemerintah dan pemda sendiri.
Menteri LHK beserta jajarannya, sepertinya tidak peduli pada amanat regulasi UUPS. Diduga Menteri Nurbaya hanya menerima laporan "asal ibu senang" dari para pembantu-pembantunya di PSLB3. Sehingga menurut saja melakukan sebuah kesalahan fatal atas solusi sampah dan sampah plastik.
Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya Bakar beserta seluruh pembantunya, hanya sibuk mengurus pelarangan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik dengan segala cara tanpa memperdulikan UUPS. Ditengarai akan mengendorse puluhan pemda untuk "memaksa" untuk melarang kantong plastik.